DARI PENYUNTING
Kajian Islam (Islamic Studies) di Perguruan Tinggi Agama Islam saat ini berhadapan dengan problem yang kompleks dan serius. Di antara problem kajian Islam (Islamic Studies) yang cukup cukup serius adalah rendahnya tingkat efektivitas dan efisiensi penyerapan materi-materi pembelajarannya, serta efek (atsar)-nya dalam sikap dan perlikau sehari-hari mahasiswa. Bila saja kegiatan kemahasiswaan tidak dibarengi dengan aktivitas dakwah kampus—yang biasanya berpusat pada masjid-masjid kampus—maka hampir-hampir kajian Islam (Islamic Studies) tidak memberikan atsar pada sikap, perilaku, dan aktivitas mahasiswa sehari-hari. Beruntunglah, mahasiswa yang menempuh pendidikan di berbagai Perguruan Tinggi di Tanah Air masih memiliki minat besar untuk aktif dalam berbagai halaqah, kajian, dan pendalaman materi-materi ke-Islam-an di berbagai sudut kampus. Tanpa keterlibatan aktif mahasiswa seperti itu, maka kajian Islam (Islamic Studies) hanya akan menghasilkan manusia-manusia kering, tanpa spirit dan roh, serta kehilangan elan vitalnya dalam menghadapi berbagai problem kemodernan.
Problem serius dalam kajian Islam (Islamic Studies) di PTAI di Indonesia tampaknya terkait dengan struktur keilmuan kajian Islam (Islamic Studies) sekaligus metodologi dan pendekatan pembelajarannya. Penelusuran terhadap struktur keilmuan dan metodologi pendekatan kajian Islam (Islamic Studies) penting dilakukan, sebab dalam dunia akademis setiap disiplin ilmu akan selalu mengalami proses dekonstruksi atau pembongkaran melalui berbagai kegiatan akademik. Padahal kajian Islam (Islamic Studies) lebih banyak memuat aspek-aspek normatif. Dengan kata lain, proses akademik tidak pernah kosong dari upaya “mempertanyakan kembali” berbagai asumsi dasar ilmu, termasuk ilmu-ilmu yang dianggap “telah mapan” sekali pun.
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui bersama, umat Islam pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (yang merupakan unsur-unsur utama Dirâsah Islâmiyah) harus dipercayai begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Itulah struktur fundamen dari apa yang disebut sebagai "agama", yang biasanya dikembangkan dengan menggunakan pola pikir atau logika deduktif (deductive) yang amat bergantung pada teks atau nash-nash kitab suci. Salah seorang pemikir Islam kontemporer, Mohammed Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan “`irfaniyyun”, dan bukan pula “burhaniyyun”.
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan. Sampai sekarang, disiplin ilmu-ilmu Islam yang sebagiannya membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah Islâmiyah di berbagai PERGURUAN TINGGI kita, dikembangkan dengan menggunakan model penalaran deduktif ala Plato itu. Para ulama klasik, telah berhasil dengan gemilang dalam mengembangkan pola penalaran deduksi dengan merujuk kepada teks-teks kitab suci (al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Namun demikian, pola pemikiran deduktif juga mendapat tantangan dari pola penalaran yang lain, khususnya pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi berbagai konsep, kontruks, generalisasi, teori, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran.
Tetapi, dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif kemudian dikombinasikan, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan metode ilmiah (scientific method). Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang dan dikaji di berbagai PERGURUAN TINGGI kita merupakan buah dari kombinasi penalaran deduktif dan induktif tersebut.
Dari dua pola logika berpikir tersebut, kajian Islam (Islamic Studies) ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif keagamaan nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan dalam kajian Islam (Islamic Studies) adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran dalam kajian Islam (Islamic Studies) pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qâbilin li al-taghyîr.
Karena watak dasar kajian Islam (Islamic Studies) yang seperti itulah, yang kemudian menjadikan kajian Islam (Islamic Studies) di Perguruan Tinggi menjadi dilematis. Di satu sisi, dunia akademik dilandasi oleh semangat penemuan, pengembangan, pembongkaran, penggantian, dan penemuan kembali ilmu; tetapi di sisi lain tubuh pengetahuan yang menyusun Islamic Studies lebih bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr. Kalau metode ilmiah dipaksakan untuk mendekati tubuh pengetahuan (body of knowledge) Islamic Studies, apakah kita tidak akan kembali terjebak pada perdebatan yang tiada akhir seperti yang menimpa “Ilmu Kalam” beberapa abad yang lampau?
Tentu kita tidak ingin mengulang kembali perdebatan ilmu kalam yang melelahkan dan menguras energi dan pemikiran para pendahulu kita. Mungkin yang dapat dilakukan adalah membuat semacam “peta” disiplin ilmu-ilmu Islam yang membentuk tubuh pengetahuan Islamic Studies, dengan cara memilah mana aspek-aspek Islamic Studies yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr dan mana aspek-aspek Islamic Studies yang bersifat qâbilin li al-taghyîr.
Inilah yang menjadi tugas para sarjana dan cendekiawan Muslim. Memang tidak mudah merumuskan peta kajian Islamic Studies yang memungkinkan kita menetapkan mana aspek-aspek Islam yang dapat dikaji, dikritisi, ditafsir ulang dan dikembangkan; serta aspek-aspek mana yang “tinggal diterima” sebagaimana adanya dan tidak memerlukan tafsir ulang.
Setelah struktur keilmuan Islamic Studies dipetakan dan dirumuskan secara akademis, mana wilayah akademis (dalam arti sesungguhnya) dan mana wilayah yang bersifat permanen, tetap, dan tidak berubah; selanjutnya menjadi tugas para sarjana dan cendeiawan Muslim—khususnya di bidang pendidikan dan pembelajaran—untuk memilih pendekatan dan metode yang tepat, sehingga tujuan Islamic Studies dapat benar-benar tercapai.
Huzni Thoyyar
Thursday, July 26, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)