JILBAB BRITNEY SPEARS SEBAGAI
PRODUK SEKULARISASI KEBUDAYAAN
Taufiq A. Dardiri
Abstrak
Perkembangan mode pakaian wanita Islam berbentuk jilbab Britney Spears yang muncul dalam fenomena keseharian tidak selalu mesti dipandang dari sudut normativitas syari’ah yang memiliki otoritas paling mutlak di dunia Islam. Akan tetapi juga mode jilbab seperti ini dapat diapresiasi dalam pengertian sebagai produk kultural umat Islam yang bersifat ijtihady; dalam arti kebenarannya dapat bersifat relatif. Dalam konteks pembentukan tradisi kultural semacam ini, fenomena jilbab Britney Spears yang dikenakan para wanita Islam dapat dilihat pula sebagai bagian dari strategi kebudayaan guna mengurangi ketegangan interaksi antara Islam dengan Barat yang justru kini eskalasinya kian meningkat dan cenderung jatuh ke dalam hubungan yang destruktif. Namun strategi relasi kebudayaan yang ditampilkan dalam bentuk gejala kebudayaan berjilbab Britney Spears tersebut berimplikasi membentuk perpaduan budaya yang bernilai social kontradiktif minimalis. Ini artinya campuran nilai-nilai Islam yang sakral yang menempatkan tubuh wanita berada di wilayah privat, sakral dan etis, dengan nilai-nilai Barat yang profan yang meletakkan tubuh wanita bernilai estetis, natural dan bersifat publik, bertemu menciptakan perpaduan minimal yang kontras di antara dua kebudayaan itu. Sudah pasti perpaduan kontradiktif minimalis ini akan melahirkan standar etika kesusilaan yang juga bersifat paradoks.
موضةخمار بروتني سفيرس ابن العلماني الثقافي
ملخص البحث
ويقدم هذا البحث أثر موضة بروتني سفيرس للمسلمات وتقصد بهذا لأ نها من أشهر المغنيات في العالم تلبس لباسا يصف ويشف يهيج شهواة الرجال. قد تطورت موضة لباس النساء في العالم مع أنها ابن الاجتهادي , والحقيقة كثير من موضة لباس اليوم لا تناسب بغاية أمرالله أصلا من حفظ النفس و تطبيق شريعته, و فيه تناقض ظاهري بجانب الأول غرض الله لهذا حفظ مروئة و تمييزهن من الغير و بجانب الأخر عدم تحديده
Kata Kunci
Jilbab Birtney Spears, Ijtihad, Interaksi Kebudayaan, Paradoksi
A. Pendahuluan
Relasi gender sejak lama menjadi mewarnai perdebatan dan diskursus Islam kontemporer. Konstruks gender dan berbagai atribut yang melekat di dalamnya cukup lama menjadi bahan kajian para pemikir dan sarjana Muslim kontemporer. Kajian ini disusun untuk keperluan mengeleborasi relasi gender dengan memilih tema yang mempersoalkan wacana di seputar pakaian wanita Islam, khususnya mode jilbab Britney Spears dalam perspektif studi kebudayaan. Ini berarti pakaian wanita Islam yang diwacanakan dalam konteks relasi gender itu tidak semata-mata dilihat dari sudut pandang syari’at agama yang diwahyukan oleh Allah dari langit sana, seperti diungkapkan oleh para ulama dan mubaligh, melainkan menjadi bagian dari produk kebudayaan yang dihasilkan kaum muslimin di muka bumi Allah swt ini. Sebagai produk kebudayaan kaum muslimin atau kebudayaan Islam, pakaian wanita Islam dengan demikian diletakkan dalam konteks hasil kreasi manusia sebagaimana lazimnya arti kebudayaan itu sendiri yang berasal dari kerja-kerja akal budi manusia yang kemungkinan mengandung benar dan salah dari sudut etika.
Memang sekalipun produk kultural ini pada mulanya merupakan proses kerja intelektual yang dihasilkan melalui penafsiran ajaran mutlak wahyu Allah swt yang tertera dalam teks-teks kitab suci dan korpus-korpus keagamaan lainnya. Ia tetap saja diletakkan dalam kerangka hasil pemikiran manusia yang bersifat ijtihady dan nisbi. Tentu secara normatif, sifat ijtihadiyah ini hasilnya relatif dapat salah, dapat pula benar. Menurut Hadis Nabi saw produk ijtihad itu, jika benar pahalanya diberi nilai dua angka, akan tetapi jika salah tidak berdosa alias tetap saja diberi pahala oleh Allah, hanya saja nilainya setingkat lebih rendah, yakni hanya satu angka.
Dalam ijtihad mengenai batas aurat wanita misalnya, para ulama pun mempunyai pendapat ijtihad yang berbeda-beda. Masing-masing pendapat itu tidak dapat saling membatalkan atau ijtihad yang satu tidak dapat disalahkan kebenarannya oleh hasil ijtihad lain, karena memang semua ijtihad yang dihasilkannya itu sama-sama menggunakan argumentasi ilmiah dan dalil-dalil keagamaan (hujjah) yang kuat, lagi pula hal itu juga sejalan dengan Hadis Nabi saw yang disebutkan (teksnya) di atas. Ada lima pendapat yang disampaikan oleh para ulama mengenai aurat wanita.
Yang pertama adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama yang menetapkan aurat wanita mencakup seluruh anggota tubuh, kecuali telapak tangan dan wajah. Kedua, pendapat yang menetapkan seluruh anggota tubuh wanita, termasuk kukunya (tangan dan kaki) adalah aurat yang wajib ditutupi. Ketiga, pendapat yang menetapkan semua aggota tubuh wanita, kecuali kedua matanya adalah aurat. Keempat, pendapat yang menegaskan seluruh tubuh wanita, kecuali wajah dan telapak tangan hingga separo lengan dan tumit atau kaki adalah aurat yang tidak boleh dibuka di ruang publik (public sphere). Kelima, pendapat yang mengemukakan batas aurat wanita disesuaikan dengan adat istiadat (al ‘adah al muhakkamah) dan kodrat yang biasa ditampakkan asal tidak melanggar norma dan tata nilai sosial yang berlaku.[1]
B. Jibab Britney Spears: Sejarah, Doktrin dan Mode Budaya
Persoalannya lantas bagaimana jilbab yang merupakan ajaran sakral yang diwahyukan oleh Allah itu ditafsirkan kaum muslimin sedemikian sekulernya hingga melahirkan model jilbab Britney Spears? Dapatkah ia disimpulkan sebagai gejala perubahan kebudayaan Islam ke arah yang tersekulerisasikan (terdunia-wikan)? Ataukah ia hanya sekedar produk kebudayaan sekuler sebagai akibat derasnya arus globalisasi dari dunia Barat yang menghempas nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) negeri-negeri Islam? Dari pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan ini, masalah mode jilbab Britney Spears sebagai pakaian wanita Islam akan didiskusikan dalam konteks ketegangan hegemonik antara agama (Islam) dengan kebudayaan (global) yang kini relasi ketegangannya tengah berlangsung dalam jantung kehidupan kita.
Sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu pakaian wanita Islam produk kebudayaan kaum muslimin yang dipersoalkan itu ialah jenis jilbab. Jilbab merupakan satu-satunya --kalau tidak setuju dikatakan salah satu-- jenis pakaian wanita Islam yang akhir-akhir ini menjadi mode berbusana yang marak dipakai oleh wanita berusia dewasa (balighah), terutama di kalangan remaja putri. Fungsi dasar pakaian jenis ini --sebagaimana pakaian-pakaian lain bagi laki-laki—di-gunakan untuk keperluan menutupi anggota tubuh yang di dalamnya terdapat organ genital (aurat) yang sangat vital dan bersifat privasi sehingga tidak bisa ditampakkan begitu saja di ruang-ruang publik.
Namun dalam perkembangannya fungsi berpakaian jilbab telah meluas, tidak sebatas sebagai penutup organ genital tubuh yang dinilai vital, tetapi juga untuk kepentingan perhiasan (estetika) yang biasa ditampakkan di ruang publik oleh pemakainya demi menciptakan keindahan dan sedap dipandang mata bagi yang melihatnya; Innallaha jamil yuhibbu al jamal (Allah itu Indah dan Ia menyukai keindahan). Bahkan dalam budaya masyarakat tertentu fungsi berjilbab digunakan untuk menunjukkan pembeda status sosial (stratifikasi) dan prestige individu di tengah masyarakat.
Sebagai contoh, pada masyarakat selebritis yang menganut gaya hidup jetset. Mereka malah berlomba-lomba memakai jilbab mewah yang harganya mencapai jutaan rupiah dengan segenap aksesorisnya yang indah nan mahal ketika tampil di ruang publik. Jika orang-orang kecil yang miskin di negeri ini menyaksikan penampilan sang selebritis yang cantik berjilbab itu di layar-layar kaca atau panggung terbuka, mereka akan terdecak kagum dan menelan air liur lidah; tanda sedang terjadi kesenjangan sosial yang mencemaskan.
Akan tetapi dalam nash Alquran, fungsi pakaian termasuk jilbab itu sebetulnya hanya dua, yaitu sebagai penutup aurat dan fungsi perhiasan sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya; Hai anak-anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu libas (pakaian) untuk menutupi auratmu (organ genital) dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik “[2] Dari ayat tersebut, Allah sendiri telah menjelaskan secara rinci dua fungsi utama berpakaian; pertama, untuk menutupi (aurat) tubuh umat manusia guna memelihara nilai-nilai kesopanan, kesusilaan, dan sebagai pelindung dari perubahan cuaca dan marabahaya. Kedua, untuk tujuan estetika; sebagai perhiasan yang dapat memperindah penampilan.[3]
Sebenarnya selain jilbab, terdapat pula jenis pakaian wanita Islam lain yang kemudian membudaya menjadi pakaian tradisional di negeri-negeri Islam, seperti habarah yang dipakai wanita Mesir, chador yang dipakai wanita Iran, kuffiyah yang dipakai wanita Palestina, dan burqa yang dikenakan wanita Afghanistan.[4] Di Indonesia, meskipun pada awal kemunculannya, pakaian jenis jilbab sempat menimbulkan kontraversi dan kecurigaan politik pemerintah sekuler Orde Baru bersamaan dengan terpinggirkannya politik Islam dari jagat perpolitikan nasional. Kini, justru terbalik mengalami perkembangan pesat yang ditandai dengan munculnya beragam mode jilbab rancangan para designer (perancang mode) yang dijual bebas di pasaran.
Kini, jilbab telah menjadi bisnis fashion yang menggiurkan para pemilik modal karena besarnya jangkauan market yang ditaksir akan dapat menghasilkan banyak rezeki dan melipatgandakan modal. Oleh karena itu, tidak heran jika hampir semua toko-toko, mall-mall, dan pasar-pasar tradisional di tanah air memperdagangkan jilbab dengan aneka mode disertai harga discount menarik yang ditawarkan ke para wanita mukminah sebagai konsumen utama pemakai jilbab.
Dari mode jilbab bercadar yang berbentuk baju kurung longgar berwarna kegelapan yang menutupi seluruh anggota tubuh wanita dari ujung rambut di kepala sampai jari-jari di telapak kaki, sehingga tidak terlihat dan nyaris tidak dikenali “identitasnya”, mode jilbab dengan kerudung penutup kepala dan rambut yang dilengkapi dengan baju panjang sebatas pergelangan tangan dan tumit kaki dengan terlihat bentuk rupa wajahnya, sampai mode jilbab ketat dengan ciri-ciri; bentuk kerudung penutup kepala yang diikat ke leher sehingga terlihat leher dan separo dadanya plus baju ketat bercelana jeans atau rok panjang ketat, seperti ketatnya kain pembalut (kasa) yang dapat memperlihatkan kecantikan wajah, kemolekan tubuh dengan buah dada mungil yang montok, dan pantat yang menungging. Semua mode jilbab itu dijual bebas di pasaran bisnis fashion, bahkan juga diiklankan di media-media elektronik dan majalah-majalah atau tabloid khusus wanita Indonesia.
Untuk mode jilbab ketat dengan ciri-ciri yang disebutkan terakhir tadi, di kampus-kampus perguruan tinggi dikenal dengan istilah jilbab Britney Spears. Bagi para mahasiswi beragama Islam yang suka bergaya trendi dan “tergila-gila” dengan mode berpakaian, jilbab Britney Spears menjadi pilihan paling ideal karena dianggap sejalan dengan tuntutan gaya hidup moderen saat ini yang cenderung sekuler sekaligus tidak mau kehilangan identitas agamanya; isyhadu bianna muslimun.
Disebut populer sebagai jilbab Britney Spears karena kemunculannya berawal dari rancangan mode pakaian yang diilhami oleh semangat memadukan kepentingan antara syari’at berbusana bagi wanita Islam yang menuntut berjilbab, dengan kehendak mengikuti mode fashion yang sedang trendi dan mendunia, yakni baju sensual dan ketat yang biasa dipakai oleh aktris kondang Britney Spears.
Britney Spears adalah nama selebritri berusia muda belia kelahiran Amerika Serikat berdarah Inggris (Anglo Saxon) yang kini sedang melejit namanya dalam belantara musik dunia. Sebagai aktris Hollywood berwajah cantik jelita, berambut pirang, dan bertubuh sintal, sosok Britney Spears telah membuat hampir semua remaja di seluruh dunia mengidolakan dan memuja-mujanya. Apalagi kalau ia sedang tampil live dalam konser musik di panggung terbuka yang disiarkan oleh media televisi dan direkam dalam kaset-kaset DVD atau VCD; gaya bernyanyinya yang berjingkrak-jingkrak erotis, dengan –maaf-- buah dada membusung seolah mau menyembul keluar diantara belahan bra-nya, dan kedua kaki mengangkang bergerak maju mundur sekaligus berpakaian sangat minimalis, nudis, dan menantang; sudah pasti semua laki-laki yang berselera menonton dan berimajinasi akan bergetar dadanya seraya menelan ludah; tanda mulai kehilangan akal sehatnya. Jika si laki-laki itu sudah kehilangan akal sehatnya, iman di dada pun bisa jadi akan segera lenyap, dan setan akan mudah merangsek masuk untuk menyalakan syahwatnya; pertanda pula ia dalam kesesatan yang harus segera mendapat pertolongan atau hukuman dari para agamawan.
Dalam konteks sejarah peradaban berpakaian umat manusia, jilbab ternyata tidak saja menjadi jenis pakaian keagamaan dalam Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dalam kitab suci Alquran. Akan tetapi pada agama-agama lain juga terdapat ajaran tentang itu, terutama dalam agama Yahudi dan Kristen. Dalam ajaran Kekristenan (Katolik dan Protestan), misalnya pemakaian jilbab juga disinggung dalam kitab suci Bibel (Injil).
Dalam Kitab Kejadian Pasal 23:65 disebutkan, “Dan Rebekah mengangkat pandangannya ke atas dan ketika melihat Isaac… lalu dia mengambil jilbabnya untuk menutupi wajahnya sendiri”. Dan juga dalam Kitab Korintus I:3-7, “Seorang wanita yang berdoa dengan kepalanya tidak berjilbab berarti tidak menghormati kepalanya, ini sama dengan seolah kepalanya dipotong. Karena jika seorang wanita menjilbabi dirinya, maka hendaknya dia memotong rambutnya, maka jika bercukur itu memalukan untuk seorang wanita, maka pakailah jilbab. Untuk seorang laki-laki, dia hendaknya menutup kepalanya, karena dia merupakan bayangan dan kebanggaan Tuhan; tapi wanita adalah kebanggaan laki-laki”.
Kedua ayat dalam Bibel di atas memperlihatkan terdapat pula ajaran tentang jilbab, hanya saja sebagian besar orang Kristen yang sangat mempercayai keotentikan kitab suci Bibel itu, kini tidak (mau) lagi melaksanakannya. Memang ada beberapa orang saja yang menjalankan ajaran itu, terutama di kalangan biarawati atau suster. Di Indonesia, para suster atau biarawati juga berjilbab jika berada di ruang publik. Akan tetapi, jilbab yang dikenakannya berjenis “jilbab terbuka” yang hanya diletakkan di atas kepala, sedangkan anggota tubuh lainnya, seperti leher, lengan, dan betis kaki bagian bawah terlihat. Berbeda dengan para biarawati di kawasan Timur Tengah dan di wilayah Amerika Latin, seperti Argentina dan Mexico. Jilbab yang dikenakan mereka secara material tidak berbeda jauh dengan jilbab yang biasa dipakai oleh wanita Islam.[5]
Menurut Leila Ahmed, dalam bukunya, Women And Gender in Islam: Historical Roots of A Modern Debate, yang dikutip oleh Asmawi mengungkapkan bahwa dalam undang undang Asy-Syiria (Mesopotamia) di Timur Tengah zaman dahulu (pra-Islam), jilbab juga dipakai untuk mengatur hubungan dan stratifikasi sosial. Hukum 40 dalam Undang-Undang Asy-Syiria disebutkan bahwa wanita bangsawan yang keluar rumah harus berjilbab. Para pelayan juga harus berjilbab, ketika mereka mengiringi wanita bangsawan.
Gadis-gadis budak tidak diperbolehkan berjilbab. Sebaliknya seorang budak yang sudah menikah di kuil, harus berjilbab ketika di jalanan umum. Adapun pelacur (lebih tepat disebut gundik atau wanita simpanan) yang “suaminya” belum menikahi harus membuka kepalanya di jalanan umum. Sementara pelacur yang sudah menikah harus berjilbab dan ia mendapat predikat terhormat sebagai “pelacur suci”. Sanksi bagi orang yang melanggar hukum berjilbab itu sangat berat. Dalam Hukum 40 disebutkan “barangsiapa yang tertangkap secara ilegal berjilbab patut dihukum dera, disiram cairan hitam di kepalanya, dan dipotong telinganya”. Jika seorang gadis budak mengenakan jilbab dan orang yang melihat tetapi tidak melaporkannya, maka ia harus dihukum, “laki-laki yang melihat gadis budak berjilbab… dan membiarkan gadis itu pergi, tidak menahannya, tidak membawanya ke gerbang perkampungan (setelah laki-laki itu terbukti tidak berbuat apa-apa pada gadis itu), maka ia harus dipukul sebanyak 50 kali cambukan, telinganya dilukai, seutas tali diikatkan ke tubuhnya dari belakang, dan ia harus bekerja untuk raja selama satu bulan penuh, serta pakaian miliknya diberikan kepada orang yang memberikan informasi tentang hal ini”.[6]
Akan tetapi, dalam sejarah perkembangannya kini, keberadaan jilbab yang sudah diidentikkan dan disimbolisasikan sebagai busana muslimah produk kebudayaan Islam ternyata masih melahirkan kontraversi. Pemakaian jilbab yang kian marak di negeri negeri Islam tidak hanya dilihat dari sisi positifnya sebagai bagian dari perkembangan dunia mode fashion yang dinamis, inovatif, dan bersusila, seperti ditunjukkan dari keunikan motif, warna, mode, dan coraknya.
Tidak jarang dijumpai sekelompok orang, terutama masyarakat Barat yang memandang jilbab secara negatif dan bertendensi politik. Jilbab dituduh sebagai pakaian religius yang melambangkan tingkat keberagamaan pemakainya yang cenderung eksklusif. Bahkan fatalnya, jilbab digeneralisir sebagai bagian dari simbol gerakan fundamentalisme religius yang dapat membangkitkan aksi terrorisme dan semangat kekerasan. Karena itu sangat naïf, jika di kalangan non Islam hanya memandang jilbab sebagai suatu simbol atau identitas suatu kelompok agama yang ofensif[7]
Berbeda dengan negeri-negeri berpenduduk mayoritas Kristen yang banyak meninggalkan ajaran jilbab, seperti di Barat. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, justru jilbab mengalami perkembangan signifikan. Signifikansi perkembangannya tidak saja diperlihatkan dari fenomena kian maraknya wanita Islam yang mengenakan jilbab dalam hidup keseharian, akan tetapi juga dengan berkembangnya beragam mode jilbab, seperti mode Britney Spears yang didiskusikan ini. Sekalipun kemunculan mode jilbab ini juga tidak berarti tidak menimbulkan masalah pro kontra di kalangan wanita Islam sendiri.
Di kampus UIN Sunan Kaljaga misalnya, banyak kalangan dosen yang merasa gerah atas munculnya fenomena jilbab Britney Spears yang dikenakan para mahasiswinya. Menurut data hasil penelitian dosen, mahasiswi peminat jilbab Britney Spears atau dikenal dengan istilah jilbab gaul ternyata telah merata di semua fakultas, jurusan dan program studi di lingkungan UIN Sunan Kalijaga.[8] Hanya saja perkembangan pemakaiannya tidak seseksi dan semodis di kampus-kampus perguruan tinggi umum, seperti UII dan UMY.
Memang di kampus UIN Sunan Kalijaga, istilah jilbab tidak dicantumkan pada diktum resmi kode etik mahasiswa dalam aturan berpakaian ketika berada di kampus atau sedang mengikuti kuliah. Namun demikian, ia menjadi busana wajib yang dipakai para mahasiswi. Dapat dipastikan tidak ada satu pun mahasiswi UIN Sunan Kalijaga yang tidak berbusana jilbab. Hanya saja akibat rumusan kode etik mahasiswa dalam berbusana muslimah itu kurang jelas dalam arti memberi peluang munculnya banyak interpretasi, maka timbul beragam mode busana muslimah yang dipakai para mahasiswi.
Alasan para mahasiswi itu pun juga beragam tergantung selera, kecocokan hati, dan latar belakang sosialnya dalam memilih mode jilbab yang dikenakan. Karena itu, mode jilbab Britney Spears yang gaul atau mode jilbab biasa-biasa saja yang “tidak gaul”, atau juga mode jilbab yang tertutup rapat dengan cadarnya mudah dijumpai fenomenanya di kampus UIN Sunan Kalijaga.
Namun yang pokok dari alasan bermode jilbab Britney Spears yang gaul di kalangan mahasiswi UIN ini tidak lain karena tuntutan mengikuti arus modernisasi.[9] Ini berarti mereka di satu sisi tidak mau dianggap sebagai wanita Islam kampungan yang ketinggalan zaman dengan mengikuti gaya hidup trendi produk modernitas (atau posmodernitas) dari Barat yang masuk ke Indonesia. Dan di sisi lain merasa tidak mau kehilangan identitas kemuslimahannya dengan mengenakan jilbab yang disyari’atkan oleh Allah swt itu. Agaknya, dua dilema kultural yang dialami para mahasiswi ini membentuk perpaduan budaya yang kontras dalam penampilan berjilbab Britney Spears yang dikenakannya itu.
D. Penutup
Perkembangan mode pakaian wanita Islam dalam bentuk munculnya mode jilbab Britney Spears dalam fenomena keseharian tidak selalu mesti dilihat dari sudut otoritas syari’at Islam yang dimutlakkan norma hitam putihnya. Akan tetapi juga tidak ada salahnya kalau mode jilbab seperti ini diapresiasi sebagai produk kultural umat Islam yang bersifat ijtihadiyah. Dalam konteks pembentukan tradisi kultural semacam ini, fenomena jilbab Britney Spears yang dikenakan para wanita Islam tersebut paling tidak dapat menjadi cara (strategi) untuk mengurangi ketegangan kebudayan antara Islam dengan Barat yang justru kini eskalasinya kian meningkat.
Namun strategi relasi kebudayaan yang ditampilkan dalam bentuk gejala kebudayaan berjilbab Britney Spears tersebut berimplikasi membentuk perpaduan budaya yang bernilai kontradiktif minimal. Ini artinya campuran nilai-nilai Islam yang sakral yang menempatkan tubuh wanita di wilayah privat, sakral dan etis, dengan nilai-nilai Barat yang profan yang meletakkan tubuh wanita bernilai estetis, natural dan bersifat publik, bertemu menciptakan perpaduan minimal yang kontras diantara dua kebudayaan itu. Sudah pasti perpaduan kontrdiktif minimal ini akan melahirkan standar etika kesusilaan yang paradoks.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Mohammad.2003. Islam Sensual: Membedah Fenomena Jilbab Trendi. Yogyakarta: Darussaalam.
Al Faruqi, Ismail Raji, ed. 1994. Trialog Tiga Agama Besar. Surabaya: Pustaka Progressif.
Keputusan Senat UIN Sunan Kalijaga. 2004. Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Mansur, M. 2004. Jilbab Gaul: Studi Tentang Model Pakaian Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Makalah Diskusi Puslit UIN Sunan Kalijaga.
Muyassarotussolichah. 2004. Implikasi Berjilbab Dalam Pergaulan Lawan Jenis; Studi Pada Mahasiswi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta: Makalah Diskusi Puslit UIN Sunan Kalijaga.
Moertopo, Ali. 1978. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Proklamasi-CSIS.
Nasr, Sayed Hossen. 2001. Islam Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.
Sa’id Nahdi, Meizer. 2004. Memperbicangkan Jilbab: Antara Tuntutan Syari’at dan Tuntutan Mode, Sosioreligia, Volume 3 No. 2, Februari.Warid, Ahmad. 2004. Trend Busana Muslimah Gaul/Sensual di Perguruan Tinggi Islam Yogyakarta, Yogyakarta, Makalah Diskusi Puslit UIN Sunan Kalijaga.
[1]Mohammad Asmawi, Islam Sensual: Membedah Fenomena Jilbab Trendi (Yogyakarta: Darussaalam, 2003), 61-71.
[2] QS. al-A’raf (7):26.
[3] Mohammad Asmawi, Islam Sensual…. , 111.
[4] Mohammad Asmawi, Islam Sensual…., 117-123.
[5] Mohammad Asmawi, Islam Sensual…., 101.
[6] Mohammad Asmawi, Islam Sensual… hlm. 96-97.
[7] Meizer Sa’id Nahdi, “Memperbicangkan Jilbab (Antara Tuntutan Syari’at dan Tuntutan Mode)”, Sosioreligia, III, 2 (2004), 321.
[8] M. Mansur, Jilbab Gaul; Studi Tentang Model Pakaian Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Makalah Diskusi Puslit UIN Sunan Kalijaga, 2004), 10.
[9] Ahmad Warid, Trend Busana Muslimah Gaul/Sensual di Perguruan Tinggi Islam Yogyakarta (Yogyakarta, makalah diskusi Puslit UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 11.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment