Wednesday, July 25, 2007

PEMIKIRAN IBN KHALDUN TENTANG ‎PENDIDIKAN ISLA

PEMIKIRAN IBN KHALDUN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

H.A. Kahar Muzakar Hasby



Abstrak
Artikel ini berusaha mengkaji pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan dalam berbagai perspektif. Pandangan terpenting Ibnu Khladun adalah bahwa untuk dapat membangun peradaban yang tinggi harus dimulai dengan memajukan pendidikan, yang baginya mesti menyentuh dua aspek penting, yaitu aspek jasmaniah dan aspek ruhaniah. Pandangan ini didasarkan pada argumentasi bahwa kebutuhan manusia sesungguhnya merupakan perpaduan dari dua unsur tersebut. Itulah sebabnya, menurutnya, tujuan pendidikan Islam seyogyanya mampu menyesuaikan seluruh potensi yang ada pada kedua unsur tersebut secara bersepadu. Namun demikian, mengingat manusia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ruhaninya. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan ruhani sebagai kekuatan jiwa yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia hendaknya lebih diutamakan.

ملخص البحث

ابن خلدون من أشهر العلماء في العالم الإسلامى بل بجميع الدول في العالم, ويشتهر بأرائه عن الاجتماعيه و التربية. تبحث هذه المقالة في أراء ابن خلدون و أفكاره عن التربية من كل النواحى, و أهم أرائه أن التربيه أول شيئ يجب تطويره و ننميته لبناء الحضارة العالية و الثقافة الضخمة. و يري أن التربية في الإسلام هي التوازن بين الروح و الجسد, و أما الأول يأثر كثيرا في حياة الإنسان وهذا هو موضوع بحثنا.
Kata Kunci
Ibn Khaldun, Pendidikan, Keseimbangan, Traditions Keepers, Traditions Losers, Filsafat Timur, Politik-Pendidikan.


A. Pendahuluan
Dalam khazanah pemikiran modern, Ibn Khaldun termasuk sedikit di antara sekumpulan elit intelektual Islam yang memiliki pengaruh sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Kepopulerannya sebagai ilmuwan dapat disetarakan dengan kemasyhuran Ibnu Sina (Aviccena), Al-Ghazali atau Ibnu Rusyd (Averroes) yang menembus batas-batas timur dan barat. Melui masterpiece-nya 'Muqaddima', para intelektual modern mentahbiskannya sebagai salah satu ilmuwan terbesar yang pernah dilahirkan dunia Islam. Tak kurang tokoh sekaliber Arnold J. Toynbee dan Bernard Lewis menempatkannya sebagian salah seorang peletak dasar-dasar ilmu sosial modern. Lewis misalnya menulis bahwa Ibnu Khaldun tampil sendirian sebagai jenius sejarah dalam Islam dan yang pertama melahirkan suatu konsepsi filosofi dan sosiologis tentang sejarah.1
Minat Ibnu Khaldun yang luas terhadap berbagai cabang ilmu yang kemudian dituangkan dalam berbagai bukunya yang terkenal seperti Al-'Ibar, Al- Ta'rif Ibnu Khaldun, Lubab Al-Muhasshal, dan yang paling fenomenal Muqadmia[2],telah menarik minat banyak sarjana dari berbagai bangsa untuk mengkajinya. Sebagai ilustrasi betapa besar perhatian betapa besar perhatian para sarjana terhadap pemikiran Ibn Khaldun, pada tahun 1970-an karya yang membahas dan meneliti tentang pemikirannya baik berupa buku, karya akademis seperti tesis dan disertasi serta berbagai publikasi mencapai tidak kurang dari 854 buku[3]. Topik kajiannya mencakup sosiologi, filsafat, sosial, ekonomi, politik, sejarah, filsafat sejarah, pendidikan, sastra, dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya.
Di Indonesia, buku-buku yang mengkaji pemikiran Ibn Khaldun juga cukup banyak. Umumnya menyangkut pemikirannya dibidang politik, kenegaraan, kebudayaan dan peradaban, sejarah dan filsafat. Luasnya cakupan bidang kajian para sarjana sesungguhnya juga menjadi isyarat akan keluasan minat dan penguasaan Ibn Khaldun terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sesuatu yang tidak aneh bagi sebagian besar ulama jenius abad pertengahan yang umumnya memang tidak mengkhususkan diri pada salah satu bidang ilmu tertentu.
Meskipun banyak kajian yang telah dibuat oleh para sarjana terhadap berbagai minat dan cabang pemikiran Ibn Khaldun, namun sepanjang pengamatan penulis, sangat sedikit sarjana yang mengkaji pemikiran dan kiprah Ibn Khaldun dibidang pendidikan. Padahal Ibn Khaldun selama lebih dari seperempat terakhir masa hidupnya justru banyak berkecimpung di bidang pendidikan dengan menjadi guru dan dosen, di samping posisinya sebagai Qadli di Mesir. Dan –meskipun tidak banyak- mempunyai pemikiran yang cemerlang di bidang ini. Kiprah Ibn Khaldun yang intens di bidang politik dan kenegaraan serta karya-karyanya yang lebih banyak mengekplorasi sejarah dan kemasyarakatan telah menyamarkan beberapa pemikirannya yang sangat penting dalam bidang pendidikan. Tulisan ini akan berusaha memaparkan beberapa pemikiran Ibn Khaldun di bidang pendidikan dengan terlebih dahulu memaparkan episode-episode penting dari perjalanan hidupnya.
B. Ibn Khaldun: Antara Politik dan Pendidikan
Ibn Khaldun hidup saat imperium Islam bagian barat (termasuk Afrika Utara) di ambang kehancuran. Andalusia terpecah-belah menjadi kerajan-kerajaan kecil. Kaum Murabitun (Almoravid) dan Muwahhidun (Almohad) saling rebut wilayah dan pengaruh. Sementara kaum Kristen Spanyol waktu itu telah mengkonsolidasi kekuatan mereka dan menyusun strategi untuk melancarkan serangan besar-besaran demi merebut kembali semua daerah yang diduduki kaum Muslim –peristiwa kelam yang dinamakan reconquista. Bermula dengan Toledo (1085), lalu Cordoba (1236) dan Seville (1248), dan terakhir Granada (1492), satu persatu wilayah Islam terjatuh ke tangan orang-orang Kristen. Kondisi sosial politik yang tak menentu inilah yang dikemudian hari banyak mempengaruhi perjalanan karier maupun pemikiran Ibn Khaldun. [4]
Ibn Khaldun dilahirkan di Tunisia, tepatnya pada salah satu jalan utama di kota tua, yaitu jalan Tarbat al-Bay, pada 1 Ramadhan tahun 732 H, atau pada 27 Mei tahun 1332. Nama lengkapnya 'Abd al-Rahmân Abû Zayd Waly al-Dîn Ibn Khaldun. Nama kecilnya 'Abd al-Rahmân, nama panggilan keluarganya Abu Zayd, gelarnya Walî al-Dîn; dan nama populernya Ibn Khaldun[5]. Gelar Waly al-Dîn, ini merupakan gelar yang diberikan orang sewaktu dia memangku jabatan hakim (Qadli) di Mesir. Dia dikenal dengan Ibn Khaldun dihubungkan dengan garis kepada kakeknya yang kesembilan yaitu Khalid Ibn Ustman.
Pendidikan yang dikecap ibn Khaldun seperti lazimnya yang berlaku di negara Islam. Sewaktu kecil ia menghafal Alqur'an dan mempelajari tajwidnya. Masjid ketika itu adalah tempat belajar yang efektif. Di sana Ibn Khaldun belajar dan menghafal Alquran serta mempelajari ilmu pengetahuan lain dari guru-gurunya. Orang-orang Tunisia masih ingat benar tempat Ibn Khaldun belajar mengaji, yaitu Masyid al-Qubhah.[6]
Ayahnya adalah guru pertamanya. Tunisia ketika itu merupakan pusat berkumpulnya para ulama dan para sastrawan di negara-negara Maghrib, serta menjadi pusat Hijrah ulama-ulama Andalusia yang menjadi korban kekacaubalauan situasi negeri yang tidak tenang. Di antara mereka adalah guru-guru Ibn Khaldun, di samping ayahnya sendiri. Ibn Khaldun belajar Alquran dan mendalami ketujuh macam cara membaca serta Qira'at Ya'qub (118-205) dari ayahnya. Dia juga mempelajari ilmu-ilmu syariat, antara lain tafsir, hadis, ushul, tawhid dan fiqh yang bermazhabkan Imam Malik (Madzhab yang masih dan tetap diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maghrib). Di samping itu dia juga mempelajari ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf dan kesusastraan. Kemudian juga mempelajari mantiq (logika), filsafat, serta ilmu fisika dan matematika.[7] Dengan kecerdasan yang luar biasa, Ibn Khaldun tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk mencerna semua disiplin ilmu yang diajarkan oleh guru-gurunya. Hal ini membuat mereka menjadi takjub, terutama gurunya, Ibrahim al-Abili.[8]
Ibn Khaldun mulai berhenti belajar ketika berumur 18 tahun. Pada waktu itu, sekitar tahun 749 H, di negerinya berjangkit wabah penyakit sampar yang melanda belahan dunia bagian timur dan bagian barat meliputi negara-negara Islam termasuk Maghribi Aqsha.[9] Penyakit tersebut yang telah menyerang dan merenggut nyawa semua guru-guru dan termasuk kedua orang tuanya. Setelah kejadian tersebut ia bersiap-siap untuk bertransmigrasi bersama para ulama lain ke Maghribi jauh dan mencari pekerjaan di sana, dan menghantarnya memulai sebuah petualangan politik yang melelahkan.
Jauh sebelum menulis Muqaddimah, Ibn Khaldun, telah terlibat berbagai intrik politik. Itu terjadi bahkan sebelum ia berusia 20 tahun. Kenyataan ini menjelaskan kepada kita bahwa ia sudah sejak awal mengamati bagaimana kiprah orang dalam politik. Persaingan keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan adalah fenomena yang biasa berlaku. Politik yang disaksikannya adalah polotik adu kekuatan, tidak peduli bingkai moral telah diinjakinya. Hal yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun muda seakan menikmati iklim semacam itu. Dinasti-dinasti kecil bersaing satu sama lain sebagai pertanda dan proses membusuknya Imperium Arab muslim di Afrika Utara. Pengalaman terusirnya umat Islam dari Spanyol yang sebelumnya mereka kuasai selama tujuh abad tidak dapat mengajarkan mereka untuk berhenti berkelahi. Dalam situasi seperti inilah Ibn Khaldun meniti karier politiknya.
Sejarah mencatat bahwa sebagian politisi, Ibn Khaldun berkali-kali berganti tuan. Dalam usianya yang ke-20, Ibn Khaldun telah diangkat menjadi sekretaris Sultan Abu Inan dari Fez, Maroko. Ia menetap di sana antara 1354 M sampai 1362 M. Namun, pada awal 1357 Abu Inan mencurigainya sebagai penghianat, lalu ia dipenjarakan selama 21 bulan, dan baru dibebaskan setelah Sultan wafat. Abu Inan digantikan oleh Abu Salim yang kemudian merehabilitasi kedudukan Ibn Khaldun pada berbagai posisi penting di kerajaan. Namun keadaan seperti itu tidak bertahan lama. Iklim politik yang penuh intrik telah menyebabkan terbunuhnya Abu Salim pada 1361 dalam suatu pemberontakan sipil dan militer. Suasna di Fez tidak menentu. Ibn Khaldun di samping masih dicurigai, perasaannya sudah ingin meninggalkan Afrika Utara demi kariernya sebagai politikus. Akhirnya ia berangkat ke Spanyol dan sampai di Granada pada 26 Desember 1362 M.[10]
Granada adalah satu-satunya negera muslim yang pada waktu itu masih tersisa disemenanjung Liberia. Sementara yang lain sudah jatuh ke tangan penguasa Kristen. Persaingan yang salng menghancurkan antara sesama penguasa muslim –seperti telah disinggung di muka-, merupakan sebab utama mengapa umat Islam pada akhirnya harus angkat kaki dari semenanjung Liberia untuk selama-lamanya.
Sebagai sekretaris Sultan Abu Salim, Ibn Khaldun diterima dengan kehormatan di istana Raja Muhammad V di Granada. Raja ini didampingi seorang wazir (Perdana Menteri) Ibn al-Khatib, seorang sastrawan, penulis dan sarjana terkemuka. Ibn Khaldun telah menjalin persahabatan dengan politikus dan penulis ini. Dengan kemampuannya, Ibn Khaldun dengan cepat meraih kepercayaan raja. Demikian tingginya kepercayaan raja kepadanya, dibuktikan dengan pengutusan Ibn Khaldun pada tahun 1364 sebagai duta untuk misi diplomatik ke istana raja Pedro el-Cruel, raja Kristen Castilla di Seville. Seville punya makna tersendiri bagi Ibn Khaldun, sebab dikota inilah nenek moyangnya tinggal selama berabad-abad. Sebagai seorang diplomat, Ibn Khaldun ditugaskan untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan Seville. Dan tugas ini dilaksanakannya dengan baik.
Untuk sementara waktu Ibn Khaldun mulai terasa tenang di Granada, sebuah kota yang penuh warna-warni. Terpikir juga olehnya untuk membawa keluarganya ke kota itu lantaran suasan dirasakan aman. Namun rintangan selalu saja muncul. Tidak lama kemudian suasana cerah setelah berubah menjadi mendung. Terkilas kecemburuan Ibn al-Khatib kepadanya lantaran radius pengaruh Ibn Khaldun di istana makin meluas.[11] Keberhasilan misinya ke Seville telah menambah bobot popuparitasnya. Inilah yang meresahkan Ibn al-Khatib.
Sebagai seorang yang sudah kenyang hidup dalam suasana intrik dan kecemburuan politik, Ibn Khaldun sadar untuk tidak terlibat dalam konflik terbuka dengan al-Khatib. Kemampuan sastra saingannya ini tetap diakui dan dihormati Ibn Khaldun, sekaligus kontak pribadi antara keduanya telah terganggu. Sampai saat terbunuhnya al-Khatib
Sebagai seorang yang sudah kenyang hidup dalam suasana intrik dan kecemburuan politik, Ibn Khaldun cukup sadar untuk tidak terklibat dalam konflik terbuka dengan al-Khatib. Kemampuan sastra saingannya ini tetap diakui dan dihormati Ibn Khaldun, sekalipun kontak pribadi antara keduanya telah terganggu. Sampai saat terbunuhnya al-Khatib di Fez pada 1347, Ibn Khaldun hanya sekali sempat berjumpa dengannya, tidak lama sebelum terjadinya peristiwa naas itu, iklim yang tidak menyenangkan tersebut telah mengubah rencana Ibn Khaldun di Granada. Dalam keadaan yang serba galau itu Ibn Khaldun mendapat undangan Abu 'Abd Allah, penguasa Bougie (sekarang pantai Aljazair), untuk diangkat menjadi perdana menteri.
Tawaran ini tanpa banyak fikir diterima Ibn Khaldun. Tahun 1365 ia sudah berada di Boegue (Bejaja). Tahun berikutnya Ibn Khaldun pindah ke Kostantin, ini rupanya Ibn Khaldun tidak lama bekerja, karena kemudian ia menetap di Biskra, kota di selatan Konstantin, Aljazair. Setelah ia merasa tidak lagi dipercaya penguasa setempat. Atas panggilan Amir Abu Hammu dari Tlemoen, Ibn Khaldun meninggalkan Biskra.[12] Untuk sekian kalinya ia ditawari kedudukan (dan kini sebagai perdana menteri, di Tlemoen), tapi kali ini ditolaknya.
Penolakan di atas tampaknya karena Ibn Khaldun sudah jenuh dan lelah terlibat dalam politik yang tidak pernah stabil dan tenang itu. Pengalamannya sebagai utusan raja-raja lokal untuk merebut kesetiaan suku-suku Badui di Afrika Utara menjadi bahan penting baginya untuk menyusun tesis-tesisnya dalam Muqaddimah. Dalam pengembaraan ekspedisinya untuk membujuk suku Dawawidah agar berpihak kepada Abu Hammu melawan Abu al-'Abbas, Ibn Khaldun benar-benar memutuskan untuk meninggalkan panggung politik. Dia mendapat perlindungan dikalangan Banu Arif yaitu di istana Qal'at Ibn Salamah.
Dalam pengunduran diri ini, ia merampungkan kitab Tarjuman al 'Ibar wa Diwan al Mubtada' wal Khabar fi Ayyum wal Barbar wa man 'asharahum min dzawis-Sulthan al Akbar sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan yang diramu dari hasil penelitian luas yang terbaik.[13] Bagian pendahuluan dari kitab inilah yang melejitkan namanya ke seantero jagad. Tak aneh, sebab Muqaddimah-nya itu tak ubahnya bagaikan kapsul yang memuat ekstrak prinsip-prinsip yang bekerja di balik aneka manifestasi ilmu pengetahuan, pencapaian, dan pengalaman masyarakat manusia dari masa ke masa. Belakangan, pengantar kitab ini dicaetak terpisah dan menjadi lebih terkenal sebagai Muqaddimah.
Pada masa ini, Khaldun juga menyelesaikan beberapa karyanya yang lain seperti, Lubab al Muhassal (buku kecil filsafat dan logika) dan Syifa' al Sa'il li Tahdzib al Masail (buku tasawuf). Toynbee, seperti telah disebut di muka, sangat mengagumi Muqaddimah sebagai karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarahnya. Masa kontemplasi kreatif di Qal'at Ibn Salamah selama empat tahun setelah menghasilkan karya monumental bagi Ibn Khaldun yang tinggal di sana sampai musim gugur 1378. sampai saat wafatnya 1406 Ibn Khaldun tidak pernah lagi menemukan tempat berlindung yang lain dimana jiwanya dapat bebas sepenuhnya dari kesusahan.[14] Selama tenggang waktu lebih dari seperempat abad sesudah itu, Ibn Khaldun tidak pernah sunyi dari kesibukan sebagai guru, qadli, diplomat dan kegiatan-kegiatan kenegaraan lainnya. Bedanya dengan periode sebelum itu bahwa ia tidak pernah lagi terlibat dalam intrik-intrik yang menguras energi.
Awal musim dingin, pada 1378, Ibn Khaldun meninggalkan Qal'at Ibn Salamah menuju Tunisia, negeri kelahirannya. Dalam perjalanan ia bertemu dengan Sultan Abu al-Abbas, penguasa yang dulu pernah di'khianatinya'. Sultan ini tampaknya telah memaafkannya, sehinga Ibn Khaldun sempat menikmati masa tenang di Tunisia. Namun, masa tenang ini ternyata tidak berumur panjang karena beberapa temannya telah melakukan intrik terhadap temannya. Tambah lagi sultan memerintahkan untuk menyertainya dalam memerangi pemberontakan. Perintah ini dinilai Ibn Khaldun sangat berbahaya. Oleh sebab itu, Ibn Khaldun memutuskan untuk menunaikan ibadah haji saja. Ditinggalkannya Tunisia pada 1382 menuju kota Iskandariah, Mesir, dan diputuskannya untuk menyinggahi Kairo sebelum Mekkah.[15]
Di Kairo Ibn Khaldun diangkat jadi guru. Para mahasiswa berkerumun dilingkungan masjid tempat ia mengajar. Semua terpukau oleh penjelasan-penjelasan yang akurat mengenai gejala-gejala sosial. Di samping memberi kuliah, iapun diangkat menjadi qadhi. Sekalipun sebelumnya ia sempat ragu-ragu untuk menerima jabatan itu. Dalam kariernya sebagai qadhi dari madzhab Maliki, Ibn Khaldun telah menunaikan tugasnya dengan seadil-adilnya. Yang pada akhirnya dia tidak mau lagi melakukan kegiatan politik rendahan.
Tahun 1384 ia mengundurkan diri sebagai qadhi setelah mendapat berita bahwa keluarganya, yang dalam perjalanan dari Tunisia untuk menyertainya di Kairo, telah menjadi korban kecelakaan kapal dekat Iskandaria. Kemudian Ibn Khaldun diangkat Sultan Barquq menjadi Professor Yurisprudensi pada perguruan Zahiriyah Mesir. Baru pada tahun 1387 ia punya kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, setelah tertunda beberapa tahun. Sepulang dari Mekkah Ibn Khaldun diangkat menjadi Presiden Institut Baybars di Mesir, suatu kedudukan yang harus segera dilepaskannya karena ia bersama qadhi lain mengeluarkan pernyataan melawan Sultan Barquq. Pada tahun 1389 Ibn Khaldun diangkat lagi untuk kedua kalinya menjadi qadhi dari madzhab Maliki setelah Sultan Barquq wafat dan diganti oleh Sultan Faraj, putera Barquq. Pada masa ini ia sempat mengunjungi Palestina.[16] Kejadian penting yang dialami Ibn Khaldun selama di Mesir dan ini merupakan peristiwa sangat historis baginya ialah pertemuannya dengan Timur (Timurlenk), sang penakluk.
Suriah dan Mesir pada masa itu berada dibawah kekuasaan Mamluk, pada waktu Timur berada di Damaskus, Sultan Faraj Burquel dari Mesir mengirimkan pasukan ke Suria dengan maksud untuk mengusir tentara penakluk tersebut. Faraj meminta Ibn Khaldun turut dalam ekspedisi militer yang penuh resiko itu. Dengan rasa enggan Ibn Khaldun terpaksa memenuhi permohonan sultan muda yang belum berpengalaman itu. Akhirnya sampailah mereka di Suria. Baru sebentar berada di sana, Sultan Faraj dan pasukannya harus pulang ke Mesir lantaran tersiar kabar akan terjadinya kudeta di Kairo. Maka tinggalah Ibn Khaldun dan sedikit pengikutnya di Damaskus dalam situasi yang serba mencekam.
Timur melalui informasi yang diberikan jaringan spionnya telah mendengar bahwa Ibn Khaldun ikut bersama pasukan Faraz. Sebelum itu sebenarnya Ibn Khaldun adalah salah seorang di antara yang menyetujui Damaskus kepada penakluk raksasa itu. Dengan cara yang sangat hati-hati dan dengan menggunakan segenap kemampuan seni diplomasinya, Ibn Khaldun berhasil menemui Timur di dalam tendanya.[17]
Pembicaraan antara dua tokoh ini menurut Muhsin Mahdi merupakan salah satu rekaman sejarah dunia yang sangat mengesankan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1400.[18]
Ibn Khaldun berada dalam tenda Timur selama 35 hari. Apa yang terjadi selama hari-hari yang cukup panjang itu telah direkam Ibn Khaldun sebagai bagian dari otobiografinya yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-Ta'rif Ibn Khaldun (Autobiografi tentang Ibn Khaldun).[19]
Dalam Ta'rif Ibn Khaldun menulis kesimpulan kesannya tentang Timur, ia sangat cerdas dan sangat tajam fikirannya (Perspicacious), senang berdebat dan beradu pendapat tentang apa yang tidak diketahuinya. Maka benarlah Muhsin Mahdi bahwa pertemuan antara dua tokoh yang serba kontras: Timur dan Ibn Khaldun merupakan salah satu rekaman sejarah dunia yang sangat mengesankan, Timur dengan segala kebrutalannya. Bila menaklukan sebuah negeri terkesan dalam sanubarinya masih ada ruang untuk menghormati ilmuwan. Di antara ilmuwan yang memuliakannya adalah Ibn Khaldun, padahal ia datang ke Suria menyertai ekspedisi Sultan Faraj untuk melawan Timur, setelah berhadapan dengan Timur, ternyata sambutan baik Timur mengizinkan Ibn Khaldun untuk meninggalkan Suria menuju Mesir. Sampai di Kairo Ibn Khaldun melanjutkan profesinya sebagai qadli sampai enam kali pengangkatan. Terakhir dilantik Pebruari atau awal Maret 1406, dijabatnya selama beberapa hari sebab pada 17 Maret 1406 (25 Ramadhan 808) Ibn Khaldun wafat dalam kedudukan Qadli.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa perjalanan hidup Ibn Khaldun dapat dikategorikan setidaknya dalam tiga fase periode yakni; pertama, periode sebagai aktivis politik, yaitu masa-masa ketika Khaldun aktif sebagai politisi yang mengabdi pada para penguasa-penguasa lokal sejak dari Maroko, Granada sampai di Beague Aljazair.
Kedua, periode sebagai ilmuwan murni, yaitu masa ketika Ibn Khaldun mengasingkan diri di Qal'at Ibn Salamah setelah ia menyatakan mengundurkan diri dari politik. Periode ini adalah masa produktif Ibn Khaldun sebagai ilmuwan, dimana pada saat itu, ia berhasil menyelesaikan Tarjuman 'Ibra yang kata pengantarnya sangat populer yang kemudian menjadi masterpiecenya, yaitu Muqaddima. Pada periode ini pula Ibn Khaldun menyelesaikan beberapa bukunya yang lain seperti Lubab al Muhasshal dan As Syifa.
Ketiga, periode sebagai pendidik dan negarawan. Pada periode ini, Ibn Khaldun lebih banyak berkiprah dibidang pendidikan. Dimana ia menjadi guru di Madrasah Qamliyah, mengajar sebagai Profesor Yurisprudensi di Perguruan Tinggi Zahiriyah, mengajar di Universitas Al-Azhar Kairo dan menjadi Presiden Institut Baybars Mesir. Pada masa ini Khaldun juga aktif sebagai Qadli (hakim)[20] dan berbagai urusan kenegaraan, namun jauh dari persoalan-persoalan politik praktis.

C. Beberapa Pemikiran Penting sebagai Ilmuwan Sosial dan
Pembaharu Pendidikan Islam
Dr. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya "The Islamic Review & Arabic Affairs" mengomentari tentang karya-karya Ibn Khaldun menyatakan, "Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibn Khaldun adalah satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosilogi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris)". Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah Muqaddimah yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
Karya yang mulai ditulis Ibn Khaldun sejak masih mendekam dalam penjara itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Jerman, dan Inggris. Berikut ini adalah beberapa pandangannya yang orisinil dan sangat maju pada zamannya dan masih sangat relevan kini untuk menjadi bahan renungan kita yang sedang berusaha bangkit meraih kejayaan.
Menurut Khaldun, masyarakat dan negara yang kuat adalah masyarakat dan negara yang padanya terdapat tiga perkara. Pertama, solidaritas kebangsaan yang kokoh, dimana sikap dan perilaku mendzalimi, membenci dan menjatuhkan satu sama lain bertukar menjadi saling memberi, saling menghargai, dan saling melindungi. Ibn Khaldun menyebutkan ashabiyyah atau group feeling meminjam terjemahan Rosenthal. Kedua, kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya. Ketiga, kebangkitan suatu bangsa dan kejayaan negara berawal dari dan hanya akan langgeng apabila orang-orangnya selalu optimis dan mau terus menerus bekerja keras. Kesuksesan tidak dicapai sekonyong-konyong.
Ibn Khaldun menganalogikan proses kelahiran dan kehancuran suatu negara dengan kehidupan manusia. Ada tahap-tahap yang mesti dilalui, masing-masing dengan pasang-surut dan pahit-manisnya. Menurutnya yang memandang proses sejarah dalam kerangka siklus (ketimbang proses linear ataupun dialektikal), runtuhnya suatu imperium biasanya diawali dengan kedzaliman pemerintah yang tidak lagi mempedulikan hak dan kesejahteraan rakyatnya,[21] serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat.[22] Akibatnya timbut rasa ketidakpuasan, kebencian dan ketidakpedulian rakyat terhadap hukum dan aturan yang ada.
Situasi ini akan semakin parah bila kemudian terjadi perpecahan di kalangan elite penguasa yang kerap berbuntut disintegrasi dan munculnya petty leaders.[23] Yang paling menarik adalah observasi Ibn Khaldun yang menyatakan; bahwa ketika negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Itulah petanda kejatuhan mereka sudah dekat.
Namun kejatuhan suatu bangsa hampir selalu didahului atau diikuti oleh kenaikan bangsa lain yang mewarisi dan meneruskan tradisi maupun peradaban sebelumnya. Sebagai pengganti yang belum semaju dan secanggih pendahulunya, bangsa yang baru muncul ini cenderung meniru bangsa yang pernah menjajahnya hampir dalam segala hal, dari cara berpikir dan bertutur hingga ke tingkah laku dan soal busana. Proses ini bisa berlangsung tiga sampai empat generasi.[24]
Bangsa yang dikalahkan cenderung meniru bangsa yang menaklukannya karena mengira hanya dengan begitu mereka dapat menang kelak. Jika kejayaan suatu bangsa hanya bertahan empat atau lima generasi, hal itu dikarenakan generasi pertama adalah 'pelopor', generasi kedua 'pengikut', generasi ketiga 'penerus tradisi' (traditions keepers), sedangkan generasi keempat berpaling dari tradisi (traditions losers).
Berbeda dengan para penulis sejarah sebelumnya, Ibn Khaldun dalam analisisnya berusaha objektif. Pendekatan yang dipakainya tidak normatif, akan tetapi empiris-positivistik. Uraiannya berpijak pada das Sein dan bukan das Sollen, pada apa yang sesungguhnya terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi. Hal inilah yang menjadi sumbangan terbesarnya terhadap ilmu sosial dan sejarah modern.[25]
Di bidang pendidikan, meskipun Ibn Khaldun menghabiskan hampir seperempat sisa umurnya menjadi guru dan pengajar di berbagai madrasah dan universitas, ia tidak mempunyai karya atau risalah khusus yang membahas masalah-masalah pendidikan. Namun demikian, bukan berarti ia melewatkan masalah yang sangat krusial ini dari perhatiannya. Meskipun tidak banyak, Ibn Khaldun telah mengemukakan pemikiran-pemikirannya dibidang pendidikan yang sangat progresif dan cemerlang dalam satu bab tersendiri (yaitu bab keenam) pada kitab Muqaddima.
Menurut Ibn Khaldun, untuk dapat membangun peradaban yang tinggi harus dimulai dengan memajukan pendidikan terlebih dahulu. Pendidikan sendiri menurut Khaldun harus menyentuh dua aspek penting, yaitu aspek jasmaniah dan aspek ruhaniah. Pandangan ini didasarkan argumentasi bahwa kebutuhan manusia sesungguhnya merupakan perpaduan dari dua unsur tersebut. Itulah sebabnya, tujuan pendidikan Islam, menurut Khaldun, seyogyanya mampu menyesuaikan seluruh potensi yang ada pada kedua unsur tersebut secara bersepadu. Namun demikian, mengingat manusia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ruhaninya, Khaldun berpendapat pendidikan ruhani sebagai kekuatan jiwa yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia hendaknya lebih diutamakan.
Dengan asumsi bahwa pendidikan seharusnya memenuhi dua aspek kebutuhan manusia, jasmani dan ruhani, Ibn Khaldun kemudian merumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang kalau kita lihat berdasar ukuran zamannya merupakan ide yang sangat progresif dan visioner. Menurutnya, terdapat enam tujuan pendidikan yaitu:
1. Membekali manusia dengan agama melalui pengajaran Alquran, Sunnah Rasul dan berbagai ilmu agama, yang dengannya diharapkan akan dapat membentuk fondasi keimanan.
2. Memperbaiki budi pekerti/akhlak manusia.
3. Memperbaiki perilaku dan kepedulian sosial manusia.
4. Memberi latihan keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja.
5. Meningkatkan daya dan kemampuan berfikir.
6. Membekali manusia dengan keterampilan berkesenian, seperti musik, syair, khath, seni bina dan macam sebagainya.
D. Penutup
Dari pemaparan terhadap pemikiran Ibn Khaldun tentang pendidikan, dapat dikatakan bahwa ia adalah pemikir awal yang menggagas dan berupaya memberikan porsi yang seimbang bagi peserta didik agar dapat meraih kesuksesan di dunia dan kesuksesan di akhirat. Meskipun di awal telah disebutkan bahwa Khaldun menganjurkan agar aspek pendidikan ruhani patut mendapatkan perhatian yang lebih, namun jika dilihat dari poin-poin tujuan pendidikan yang dirumuskannya, terlihat jelas bahwa ia menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pengembangan kemampuan berfikir peserta didik, berbudi pekerti luhur, dan memiliki kecakapan dan keterampilan teknis vokasional memadai sebagai instrument penting bagi peserta didik untuk survive dalam kehidupan dan berperan aktif turut membangun peradaban.
Gagasan Ibn Khaldun ini merupakan pemikiran yang sangat maju dan visioner pada zamannya. Mengingat pada masa itu, Islam sedang mengalami kemunduran disegala bidang. Pada saat bersamaan, pemikiran teosentris-fatalstik dengan perilaku yang asketik akibat 'frustasi dan keputusasaan' tengah menggejala di kalangan masyarakat muslim. Dan Ibn Khaldun, dengan penuh kesadaran dan pengetahuan yang luas akan hukum-hukum kemasyarakatan, mengajukan agar dunia Islam kembali berpaling kepada pendidikan, yang bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, namun juga ilmu-ilmu keduniaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, H. Zainal Abidin, Konsep Politik dan Ideologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
-------------, Ilmu Politik Islam I, Jakarta Bulan Bintang, 1977
Ahmed S. Akbar, Dicovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society, London: Routledge, 1988
Ali Fahry, Bahtiar Efendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Depan Orde Baru, Bandung: Mizan, 1990
Amhez, Aziz al-, Ibn Khaldun in Modern Scolarship: A Study in Orientalisme, London: Third Word Centre of Research and Pablishing, 1981
Arnold Toynbee, A Study of History, London: Oxford University Press, 1948
'Ashi, Husain, Ibn Khaldun Mu'arikhan, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1991
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Badawi, 'Abd al-Rahman, Mu'allafat Ibn Khaldun, Kairo: Markaz al-Qaumi li al-Buhuts al-Ijtima'iyyah wa al-Jina'iyyah, 1927
Echols, John M. & Hasan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, Jakarta; PT Gramedia 1979
Faruqi, Ismail R. al- & Lois Lamya al-Faruqi' The Culture Atlas of Islam, New York: Mac Mallon Pablishig Company, 1986
Ibn Khaldun, 'Abd al-Rahman, al-Ta'rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan, Kairo: Lajnah Ta'lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951
-------------, Muqaddimah Ibn Khaldun,Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993
Ibn Manzhur, Lisan Arab, Beirut: Dar al-Shadir, 2000
Imam Zakariyya Basyir, Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Khurthum: Dar al-Sudaniyah li al-Kutub, 1998
Jabiri, Muhammad Abu 'Abid al-, Fikr ibn Khaldun al-'Ashabiyyah wa al-Dawlah, Beirut: Markaz Darasat al-Wahdah al-'Arabiyyah, 1994
Khudhoiri, Zaenab al-, Filsafat sejarah Ibn Khaldun (terj.)., Bandung: Pustaka 1987
Luwis, Bernard, The Arab in History, New York: Harper & Row, 1967
Ma'arif, A. Syafii, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakrta: Gema Insani Press, 1996
Ma'luf, Luwis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam,Beirut: Dar al-Masyriq, 2002
Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun's Philosophy of Histpry: A Study in the Philosophic Faundantions of the Science of Culture, Chichago: Chichago of University Press, 1967
-------------, Ibn Khaldun's Philosophy- A Study in the Philosophy Faundation of the Science of Culture, London: George Allen and Unwin, 1957
-------------, Ibn Khaldun's Philosophy of History, Chichago: University of Chichago Press, 1957
Makki, 'Abd al-Raziq al-, al-Fikr al-Falsafi Ibn Khaldun, Iskandariah: Mu'asasah al-Tsaqafah al-Jam'iyyah, 1976
Nasyat, Muhammad 'Ali, Al-Fikr al-Istishadifi Muqaddimah Ibn Khaldun, Kairo: tp, 1944
Rabi, Muhammad Mahmoud, The Political Theory of Ibn Khaldun,Leiden: E.J. Brill, 1967
Raliby, Osman, Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta: Bulan Bintang, 1965
Rosental, Franz, Ibn KhaldunThe Muqaddimah, London: Routledge, 1958
-------------, An Introduction to History The Muqaddimah, London: Routledge & Kegan Paul, 1978
Sathi al-Hushri, al-Muqaddimah Ibn Khaldun, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1961
Sho'ub, Hasan, Islam dan Revolusi Pemikiran, Jakarta: Risalah Gusti, 1997
Stanford J. & William R. Polk (ed), Studies On the Civilation of Islam, Boston: Beacon Press, 1962
Straus, Leo & Joseph Grospey, History of Political Philosophy, Chachago: The Uiversity of Chicago Press, 1987
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993
Wafi, 'Ali 'Abd al-Wahid, Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Fajalah: Maktabah Mishr, tt.
Wardi, 'Ali al-, Manthiq Ibn Khaldun fi Dla'i Hadlaratihi wa Syakhshiyatihi, Kairo: Ma'had al-Dirasat al-'Arabiyyah al-'Aliyah, 1962
Wojowasiro, Kamus Lengkap, Bandung: Hasta, 1983
Unus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta; Hidakarya Agung, 1990Zainuddin, Abdul Rahman, "Kekuasaan dan Negara dalam Pemikiran Ibn Khaldun" Disertasi, Jakarta: PPS UIN, 1991.
1 Bernard Lewis, The Arab in History (New York: Harper & Row, 1967), h. 137
[2] Kitab Muqaddimah pada mulanya merupakan bagian preambule atau pengantar (muqadimmah) dari kitab Al-'Ibar. Namun dalam perkembangannya, mengingat pentingnya isi dari pengantar tersebut, akhirnya ia dicetak menjadi buku yang terpisah dari kitab utamanya Al-'Ibar.
[3] Lihat pada Aziz Al-Amhez, Ibnu Khaldun in Modern Scolarship: A. Study in Orientalisme (London: Third World Centre for Research and Publishing, 1981), h. 233
[4] Syamsuddin Arif, Refleksi 600 Tahun Wafatnya Ibn Khaldun: Pangkal Kejatuhan dan Kejayaan Bangsa, Orientaliches Seminar, Frankfurt Jerman.
[5] Untuk kepentingan mengenai biografi yang komprehensip, bisa dilihat pada beberapa buku antara lain pada Franz Rozental, Ibn. Khaldun the Muqaddimah (London: Routledge, 1958), h. Xxx-lxvii, Muhsin Mehdi, Ibn Khaldun's Philosophy of Hostory (Chichago: University of Chichago Press, 1957), h. 17-63, Muhammad 'Abid al-al-Jabiri, Fikr IbnKhaldun al-'Ashabiyah wa al-Dawlah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, 1994), h. 17-120, Husain 'Ashi Ibn Khaldun Mu'arikhan (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1991), h. 7-53, 'Ali Abd al-Wahid Wafi, Abd al-Rahman Ibn Khaldun (Majalah: Maktabah Mishr, tt), 9-131. Zaenab al-Khudhoiri, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun (terj.) (Bandung: Pustaka 1987), h. 8.
[6] Kata Masyid adalah istilah yang digunakan oleh orang Tunisia untuk menyebutkan istilah masjid. Lihat pada 'Ali 'Abd al-Wahid Wafi al-Rahman Ibn Khaldun, h. 25
[7] Di antara pelajaran yang ia dapat adalah Qasidah al-Syathibi, Kitab al-Taqshi li Ahadis al-Muwatha' karya Ibn 'Abd al-Bar, al-Tashil karya Ibn Malik, Mukhtasar Ibn al-Hajib al-Sya'ar al-Sittah, dan Kitab al-Aghani dan lain sebagainya. Kesemuanya itu dapat dikuasai sebelum lengkap umurnya enam belas tahun. Hanya saja yang ia dapat hanyalah menghafal matan dan kurang mendalami masalah penjelasannya. Lihat pada Muhammad 'Abid al-al-Jabiri, Fikr Ibn Khaldun, 40.
[8] Dalam pengakuan Ibn Khaldun, Abili tidak pernah membantah apa yang menjadi statemennya Ibn Khaldun. Abili yang mempunyai nama lengkap Abu 'Abd Allah 'Umar Ibn Ibrahim al-Abili memasuki Tunisia pada tahun 748 H dan merupakan teman karib dari bapaknya, lihat pada Ibid.
[9] 'Abd al-Rahman Ibn Khaldun, al-Ta'rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan (Kairo: Wazarah al-Tsaqafah, 1962), h. 11-15
[10] Ismail al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, The Culture Atlas of Islam (New York: Mac Mallon Publishing Company, 1986), h.30
[11] Ahmad Syafii Maarif, Ibn Khaldun dalam Pandangan., h. 15
[12] Ibid., h. 15
[13] Fuan Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran slam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 17
[14] Ahmad Syafii Ma'arif,Ibn Khaldun dalam Pandangan., h. 17
[15] Ibid., h. 17
[16] Ibid., h. 18
[17] Ibid., h. 19
[18] Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun's Philosophy., h. 59
[19] al-Ta'rif Ibn Khaldun tidak hanya meriwayatkan kehidupan dirinya sendiri, akan tetapi banyak melibatkan riwayat-riwayat hidup beberapa orang penting yang erat hubungannya dengan riwayat hidup politiknya.19 Demikian pula dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa, dokumen, khotbah, surat sambutan pidato, bahan perkuliahan, bahan sejarah kerajaan di bawah kekuasaannya seperti Maghribi jauh, Maghribi Tengah, dan Maghribi Dekat, negeri Banu Akhmar di Andalusia, pemerintahan Ayyubiyyun dan Bani Mamluk di Mesir, perkembangan kerajaan Tartar dan Mongol serta peperangannya dengan negeri Arab. Buku itu juga berisikan catanan-catatan penting tentang keadaan dan situasi bobrok yang meliputi dunia kehakiman Mesir yang ia tulis sewaktu ia menjadi hakim tinggi di Mesir, tradisi saling tukar hadiah di antara para raja dan para amir, upacara-upacara selamatan datang dari istana, serta penulisan surat-surat resmi di kerajaan. Juga berisikan riwayat hidup berharga para politisi, sastrawan, dan ilmuwan yang hidup sebelum dan yang sezaman.
[20] Menurut beberapa versi ia sempat diangkat menjadi Qadli Qudhat (ketua para hakim/hakim tertinggi Mesir
[21] Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah (Kairo: Wazarah al-Tsaqafah), h.43
[22] Ibid, h. 22
[23] Ibid, h. 45
[24] Ibid, h. 53
[25] Syamsuddin Arif, op.cit.

No comments: