Wednesday, July 25, 2007

KASIDAH BURDAH DI ANTARA SASTRA ‎MUSIK ARAB

KASIDAH BURDAH DI ANTARA SASTRA MUSIK ARAB

Fadlil Munawwar Manshur
Abstrak
Posisi Kasidah Burdah dalam sastra musik Arab di Mesir dapat digolongkan ke dalam genre nasyîd seperti nasihat-nasihat keagamaan (tawâshih dîniyyah), kasidah-kasidah keagamaan (qashâ’id dîniyyah), teks maulid (mawlid), teks doa (ibtihâlat), kisah-kisah keagamaan (qishshah dîniyyah), dzikir, dan lagu-lagu keagamaan (aghâny dîniyyah). Semua jenis sastra lisan keagamaan ini telah go public melalui pertunjukan langsung dan media produksi atau gabungan antara keduanya. Genre-genre nasyîd tersebut, pada dasarnya, adalah musikalisasi puisi dan prosa Arab yang berisi doa kepada Allah swt dan pujian kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan kata-kata yang indah.


قصيدة البردة بين أدب الموسقى العربية
ملخص البحث
من ناحية أدب الموسقى العربية بمصر, قصيدة البردة نوع من أنواع الأنشودة و الأغاني مثل التواشيخ و القصائد الدينية و نسخ المولد و الابتهالات و القصص الديني و الأذكار و الأغاني الدينية. و انتشرت هذه الأنشودة الدينية في جميع القاراة بل في أنحاء العالم بأنها تغني بألات الموسقية و على المسارح مما جعلها أيضا تشتهر بلون خاص. و الخقيقة, أن هذه الأنشودة شجعت مألف الموسقى العربية على أدابها لأنها سجع يرتبط بالسلم الموسقى.و أصل مضمون هذه الأنشودة الدعاء إلى الله تعالى والثناء على الرسول ص م. و بيان صفاته و أفعاله و محاسنه بأسلوب بديعي.


Kata Kunci
Kasidah Burdah, Genre Nasyîd, Sastra Lisan, Maqâm.



A. Pendahuluan
Kasidah Burdah adalah karya sastra yang berisi ajaran-ajaran Islam, khususnya tasawuf, yang ditulis oleh penyair sufi yang bernama al-Bûshîry. Kasidah ini medapat sambutan masyarakat luas tidak hanya melalui tulisan dan lisan, tetapi juga melalui lagu yang direkam. Jadi, Kasidah Burdah secara kategoris adalah karya sastra Islam yang dilagukan, artinya, ia masuk dalam wilayah musik Islam.
Karena Kasidah Burdah sudah disambut melalui rekaman, maka sudah tentu ia dikategorikan sebagai kelompok seni yang membawa konsep musik Islam. Musik Islam, seperti yang hidup di negara-negara Arab, adalah musik yang hidup dan berkembang di dalam kebudayaan keseluruhan masyarakat yang memeluk agama Islam. Musik ini hidup dan berkembang menurut konsep dan tata cara agama Islam. Salah satu aspek yang menonjol, yang menjadi ciri musik Islam, adalah tema syair atau liriknya, pada umumnya, berkaitan dengan keagungan Tuhan, puji-pujian terhadap Nabi, nasihat, dan lain-lain (Hermawan, 2002:177-178). Definisi ini cocok dengan Kasidah Burdah sebagai karya musik Islam yang berisi ungkapan keagungan Tuhan, puji-pujian terhadap Nabi, dan nasihat-nasihat keagamaan. Pengarang Kasidah Burdah adalah orang Arab, bernama al-Bûshîry, yang taat menjalankan ajaran-ajaran Islam karena ia adalah seorang penyair sufi yang ternama. Jadi, membicarakan Kasidah Burdah dalam konteks musik Islam, maka tidak terelakkan bahwa kasidah ini juga adalah karya sastra musik Arab karena pada awalnya sampai sekarang ia dicipta, disambut, dan dinikmati oleh masyarakat Arab.
Musik Islam - dalam konteks ini, secara terbatas juga disebut sastra musik Arab - pada umumnya ditandai dengan enam ciri, yaitu : (i) susunan nada (modus), (ii) bahasa dan tema lagu (lirik), (iii) irama dan alat-alat musik, (iv) warna vokal, (v) kostum, dan (vi) etika penyajian (Hermawan, 2002:179). Dalam konteks musik Islam, Kasidah Burdah dapat diuraikan berdasarkan enam ciri tersebut.

B. Kasidah Burdah dalam Enam Ciri Musik Islam
1. Susunan Nada (Modus)
Susunan nada dalam musik Islam disebut maqâm (jamaknya maqâmât). Dalam musik Arab, maqâm hanya memanfaatkan nada-nada yang dipilih dari keseluruhan nada yang ada. Dalam hal ini, maqâm menyerupai tangga nada musik Barat, tetapi, maqâm lebih mampu memberikan pengaruh pada musik yang dihasilkan. Maqâm terdiri atas susunan melodi yang didasarkan pada nada kunci tertentu dari susunan nada. Jadi, sebuah lagu yang ditulis dalam sebuah maqâm tidak hanya menggunakan nada-nada tertentu, tetapi juga harus memasukkan susunan melodi untuk susunan nada itu dalam garis melodi lagu (www.shira.net.2005). Macam-macam maqâm (susunan nada) terdiri atas : (i) ’ajam, (ii) usayran, (iii) rashad, (iv) naqriz, (v) nahawand, (vi) hijâz-kar, (vii) hijâz-kar kurdi, (viii) bayâty, (ix) chusayni, (x) lujâzy, (xi) shaba, (xii) sah-gah, dan (xiii) tsahar-gah (Hermawan, 2002:179).
Susunan nada Kasidah Burdah disesuaikan dengan maqâmât yang digunakan dan selera penyanyi (pelantun) yang menyanyikannya. Misalnya, di dalam dua buah kaset al-Minyâwy (1997), Kasidah Burdah dinyanyikan dengan sembilan maqâmât yaitu : (i) bayâty alfa, (ii) bayâty, (iii) hijâz, (iv) rashad, (v) ’ajam atau jiharkah, (vi) shaba, (vii) sika, (viii) nahawand, dan (ix) kurd.
2. Bahasa dan Tema (Lirik)
Bahasa yang digunakan dalam Kasidah Burdah adalah bahasa puisi Arab yang padat makna, yang setiap kata mempunyai makna yang saling berkaitan. Pilihan kata (diksi) yang digunakan oleh penyair disesuaikan dengan rima (persamaan bunyi) dan irama (tinggi-rendah lagu). Setiap kata akhir pada larik kedua mempunyai bunyi yang sama, yaitu mîm, terdapat unsur vokal i yang ringan apabila diucapkan. Adapun tema Kasidah Burdah terdiri atas sepuluh tema cerita yang intinya adalah doa dan munâjât kepada Allah swt, disertai rasa rindu, cinta, dan pujian penyair kepada Nabi.
3. Irama dan Alat-alat Musik
Irama Kasidah Burdah yang dinyanyikan disesuaikan dengan maqâmât yang digunakan . Pada setiap event, irama yang terdengar berbeda karena diselaraskan dengan kondisi ruang dan waktu juga dengan situasi pendengar (audiens). Misalnya, apabila Kasidah Burdah dinyanyikan pada acara ritual Maulid digunakan irama yang rendah nadanya, sedangkan pada acara yang bersifat umum (festival), irama yang dinyanyikan terdengar suara tinggi dan menghentak.
Adapun alat musik yang digunakan pada nyanyian Kasidah Burdah berbeda-beda antara penyanyi yang satu dengan yang lain; antara negara satu dengan negara lain; antara daerah satu dengan daerah lain. Hal ini bergantung pada selera penyanyi atau pelantunnya. Misalnya, di Mesir, lagu Kasidah Burdah, dan lagu-lagu Arab lainnya, dilengkapi dengan alat-alat musik khas Arab, seperti ud, durbakke, qânûn, nay, mijwiz, buzuq, dan rikk (www.indo.net.id). Adapun di Indonesia, ”Ar-Raudhah Group”, kelompok musik Kasidah Burdah dari Pesantren Syaykhona Kholil Bangkalan Madura, dan ”Terapi Musik Sufi” dari Pesantren Darussalam Ciamis, menggun alat musik lengkap yang terkumpul dalam electone. Ada juga yang tidak menggun alat musik seperti yang dilantunkan oleh Muhammadun Zain dari Semarang, tetapi memakai backsound yang dinyanyikan oleh para santrinya. Jadi, irama Kasidah Burdah tetap terdengar ramai walaupun tanpa alat musik yang lengkap (lihat kaset Zain)
4. Warna Vokal
Warna vokal Kasidah Burdah berkaitan erat dengan struktur dan karakter lagunya yang bernada padang pasir. Pada umumnya, lagu Kasidah Burdah bersifat melismatis, yaitu satu suku kata untuk beberapa nada dengan frase-frase yang relatif panjang-panjang (bdk. Hermawan, 2002:181) dan dikemas dalam irama terikat yang sesuai dengan rimanya (qâfiyah atau persamaan bunyi).
Warna vokal yang muncul dalam lagu-lagu Kasidah Burdah dapat dilihat pada kaset-kaset al-Minyâwy (1997), al-Atwâny (2006), dan Ar-Raudhah Group (2003). Pada lagu al-Minyâwy dan Ar-Raudhah Group terdengar suara pelantunnya bernada tinggi dan melengking, dan turun-naiknya irama sangat terasa. Adapun pada lagu al-Atwâny terdengar nada yang rendah dan datar sehingga lagunya terkesan slow dan syahdu.
5. Kostum
Kostum kelompok musik atau penyanyi berkaitan dengan panggung pertunjukan atau pentas seni. Setiap penyanyi yang naik panggung dipastikan menggun kostum yang sesuai dengan jenis lagu yang dinyanyikan dan suasana audiens yang menontonnya.
Pelantun Kasidah Burdah biasanya adalah pembaca indah (qâri) Alquran yang menjaga penampilannya agar tidak terkesan sebagai penyanyi pop. Pelantun laki-laki biasanya memakai jubah dan serban yang dililitkan ke kepala (Hermawan, 2002:182). tetapi, saat ini pakaian para pelantun tidak terlalu terikat dengan pakaian khas Arab, mereka biasa juga memakai pakaian ala Indonesia, seperti baju koko dan kopiah. Adapun pelantun perempuan biasa menggun longdress dan berjilbab, sudah tentu dengan asesoris dan ornamen yang indah.
6. Etika Penyajian
Etika penyajian musik Kasidah Burdah berkaitan erat dengan panggung pertunjukan yang menjadi tempat pentas langsung (live). Sesuai dengan jenis musik Islami, yang terikat dengan etika dan akhlak Islam, maka pertunjukan musik Kasidah Burdah cukup sederhana. Para pelantun ada yang berdiri berjajar menghadap ke audiens (apabila lebih dari dua orang), tetapi ada pula yang duduk apabila pelantunnya hanya satu orang, kemudian yang satu orang lagi duduk sambil memainkan electone.
Jadi, dapat dikatakan bahwa penampilan musik Kasidah Burdah memperhatikan etika panggung, baik yang berhubung dengan pelantunnya maupun pertunjukannya karena ia, di samping berfungsi menghibur audiens, juga membawa misi dakwah Islam.
Berdasarkan uraian mengenai Kasidah Burdah sebagai musik Islami dengan enam ciri seperti telah dijelaskan di atas, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Kasidah Burdah juga adalah karya sastra musik Arab. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa yang memelopori pembacaan Kasidah Burdah pada seni pertunjukan dan rekaman adalah orang-orang Arab, khususnya Arab Mesir. Artinya, orang-orang Arab Mesirlah yang memasukkan Kasidah Burdah dalam dunia sastra musik Arab sehingga menjadi lebih populer di dunia Islam dan dunia Barat (lihat Frishkopf, 2001).
C. Kasidah Burdah dalam Perkembangan Sastra Musik Arab
Sastra musik Arab diartikan sebagai lagu-lagu nasyid dan pop yang liriknya diambil dari puisi-puisi yang disusun oleh para penyair Arab. Di antara penyair yang menulis lirik lagu Arab adalah Achmad Syauqy, Sayyid Quthub, Syaykh Thâha al-Fashny, Syaykh Muchammad al-Fayyûmy, dan Syaykh Nasrud-Dîn Tubbar. Resepsi Kasidah Burdah dalam rekaman adalah bait-bait Kasidah Burdah yang disambut oleh penyanyi dalam bentuk lagu-lagu nasyid dan pop, baik penyanyi Arab (Mesir) maupun penyanyi non-Arab (lihat Frishkopf, 2000:5-6). Adapun yang dimaksud dengan penyanyi non-Arab pada bahasan ini adalah penyanyi nasyid Indonesia yang menyanyikan lagu-lagu Kasidah Burdah dalam rekaman kaset yang diproduksi di Indonesia.
Kasidah Burdah dicipta oleh seorang penyair sufi yang berasal dari Mesir, ia disambut pertama kali oleh masyarakat Arab Mesir, dan sambutan masyarakat dunia terhadapnya, dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk rekaman sebagai nasyîd, juga berangkat dari Mesir. Dengan demikian, Kasidah Burdah adalah karya sastra Arab produk bangsa Arab Mesir yang mendapat sambutan luas masyarakat sastra di dunia.
Dalam Islam, kasidah termasuk jenis musik vokal yang berisi curahan hati, di samping qith’a (fragment) dan ghazal (songs of mystical love) (Hoesin, 1975:395; Markoff, 1995:1). Oleh karena itu, pada tulisan ini dipandang perlu menguraikan sekilas sejarah perkembangan sastra musik Arab Islam, khususnya lagu-lagu keagamaan (nasyîd) yang terjadi di Mesir sebagai latar sambutan masyarakat Arab terhadap Kasidah Burdah dalam bentuk rekaman, termasuk perkembangan musik vokal di Mesir.
Dalam konteks ini, dilihat posisi Kasidah Burdah dalam sastra musik Arab di Mesir, khususnya genre nasyîd seperti nasihat-nasihat keagamaan (tawâshih dîniyyah), kasidah-kasidah keagamaan (qashâ’id dîniyyah), teks maulid (mawlid), teks doa (ibtihâlat), kisah-kisah keagamaan (qishas dîniyyah), dzikir, dan lagu-lagu keagamaan (aghâni dîniyyah). Semua jenis sastra lisan keagamaan ini telah go public melalui pertunjukan langsung dan media produksi atau gabungan antara keduanya. Genre-genre nasyîd tersebut, pada dasarnya, adalah musikalisasi puisi dan prosa (sastra) Arab yang berisi doa kepada Allah swt dan pujian kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan kata-kata yang indah.
Dalam hal ini, sastra memang berbicara tentang keindahan dan musik termasuk bagian dari wilayah sastra (ath-Thanthâwy, 1992:150). Salah satu unsur yang membentuk musik adalah bahasa (Sâ’iy, 1985:55). Artinya, kata-kata yang indah, sebagai unsur bahasa dan sastra, merupakan komponen utama yang membentuk sebuah musik menjadi indah didengar. Jadi, musik Arab yang menggunakan kata-kata yang indah dalam berbagai genre itu adalah bagian dari kehidupan berbahasa dan bersastra masyarakat Arab. Mendengarkan musik adalah satu bentuk pengalaman yang indah dan menyenangkan. Musik Arab adalah bagian dari tradisi klasik musik besar dunia (Danielson, 1996:3). Dalam hal ini, nasyîd merupakan salah ekspresi penyair atau penyanyi dalam berbahasa yang indah untuk mencapai tujuannya, yaitu mengagungkan asmâ Allah dan memuji Nabi.

D. Kasidah Burdah sebagai Nasyîd
Kasidah Burdah dilihat dari isi teksnya yang bernuansa religius dapat disebut sebagai nasyîd. Pelantun Kasidah Burdah di Mesir yang biasa dibacakan oleh sayyid (penyanyi nasyîd laki-laki) ­– di Turki disebut zâkir – (Markoff, 1995:1) dalam acara-acara keagamaan semakin memperkokoh posisinya sebagai nasyîd. Untuk melihat posisi Kasidah Burdah sebagai nasyîd itu, di bawah ini diuraikan pengertian dan resepsi nasyîd beserta genre-genrenya dan perkembangannya di Mesir.
Pengertian nasyîd secara etimologis adalah angkat suara (Munawwir, 1984:1516), yang artinya lebih cenderung pada orang yang bernyanyi, tetapi dalam perkembangan musik religius saat ini, arti nasyîd berubah menjadi lagu dan lebih condong pada nyanyian. Nasyîd sebagai lagu yang bernuansa religius saat ini telah menyebar ke berbagai negara, baik yang berpenduduk muslim maupun negara-negara nonmuslim, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, seperti Mesir, nasyîd telah tersebar luas pada abad ke-20, menembus batas-batas geografis dan sosial. Fokus atau tema utama yang diusung nasyîd adalah pujian kepada Allah dan Rasul-Nya serta ekspresi pengalaman spiritual keagamaan. Nasyîd tidak dibatasi oleh lokalitas, kelas ekonomi, ataupun pandangan religius kelompok. Nasyîd lebih mengekspresikan dimensi terdalam dari salah satu ajaran Islam dan secara umum diungkapkan dalam gaya sufisme. Lirik nasyîd bercita-rasa mistik yang dalam kelompok sufi yang dikenal luas karena gaya khas nasyîd yang dimilikinya. Lirik nasyîd selalu dinyanyikan dalam upacara ritual kaum sufi dan telah menjadi domain dalam kehidupan mereka (Frishkopf, 2000:1).
Secara tekstual, nasyîd dengan mudah dapat dibedakan dari tilâwatil-Qur’an dan adzan. Nasyîd adalah semacam puisi biasa, sedang Alquran adalah wahyu Allah, sedangkan adzan lahir dari sebuah tradisi dakwah Islam. Adzan adalah salah satu syiar Islam yang mengajak manusia untuk mendirikan salat lima waktu (Syaltût, 1966:85) dan menjadi tanda utama agama yang diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi, baik ketika ia di kampung maupun di perjalanan. Adzan dimulai pada abad ke-1 Hijriyyah sampai Nabi wafat (ash-Shiddieqy, 1982:286) dan saat ini hingga akhir zaman akan terus dipraktikkan oleh umat Islam di seluruh pelosok dunia.
Kesucian wahyu Alquran dan aturan-aturan khusus dalam pembacaannya dikodifikasikan dalam tajwîd. Orang yang membaca ayat-ayat suci dengan memperhatikan aturan tajwid akan terdengar suara yang merdu dalam tilâwatil-Qur’an-nya. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dan an-Nasâ`iy, Nabi bersabda : زَيِّنوُا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ “Zayyinûl-Qur`âna bi Ashwâtikum” (Hiasilah Alquran dengan suara kalian), dan dari Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, dinyatakan oleh Nabi dengan yang lebih tegas : لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ “Laysa Minnâ man lam yataghanna bil-Qur`âni” (Tidak termasuk golongan kami yang tidak membaca Alquran dengan melagukannya) (lihat Qardhâwy, 1999:238). Jadi, tilâwatil-Qur`an itu artinya bisa membaca biasa dan bisa pula membaca dengan lagu yang masing-masing ada kaidahnya. Dalam studi ini, yang dimaksudkan dengan tilâwatul-Qur`ân adalah bacaan Alquran (Munawwir, 1984:149) yang memiliki tujuh gaya (style) bacaan, yang terkenal dengan istilah al-qirâ`atus-sab’ah (al-Anshâry, 1959:4 dan adz-Dzâty, t.t.). Tujuh gaya bacaan Alquran ini, pada akhirnya, menjadi disiplin ilmu tersendiri yang mendapat sambutan besar dari masyarakat muslim, terutama lembaga-lembaga pendidikan membaca indah Alquran.
Mengenai keindahan Alquran tersebut dapat dikatakan bahwa di dalam ayat-ayatnya terkandung kalimat-kalimat yang sangat halus dari berbagai gaya bahasa sastra, seperti majâz, metafora, perumpamaan atau penyerupaan. Dalam Alquran juga terdapat ayat-ayat yang berirama, yang jumlahnya lebih dari seratus ayat. Aspek musikalitas yang dikandung dalam Alquran terletak pada keindahannya, yang apabila dibaca akan memberi efek kesyahduan bagi pendengarnya. Kata-kata pada sebagian besar ayat Alquran memiliki kesamaan nada pada bagian akhirnya. Pola ini dalam puisi (syair) disebut sebagai wazan atau rima. Ayat-Ayat Alquran menggunakan jalinan rima yang menarik hati dan menyentuh jiwa. Jadi, Alquran memiliki keunikan dan daya tarik yang tidak tertandingi karena susunan dan kesempurnaannya yang menakjubkan (Baljon, 1991:54).
Sisi lain daya tarik Alquran adalah keselarasan antara kata dan makna. Apabila dibaca ayat-ayat yang menceritakan tentang kelembutan dan rahmat Allah, kata dan kalimat yang digunakan bernada lembut dan indah. Sebaliknya, apabila ayat-ayat yang dibacakan itu menyangkut tentang siksaan, kesesatan, kesempitan, dan kesulitan, maka perasaan takutlah yang timbul. Lebih dari itu, kata dan kalimat dalam ayat-ayat suci itu pun terasa berat dan sulit untuk dibaca, karena banyak huruf yang bertasydîd yang berdekatan antara satu dengan yang lain (www.irib.ir/worldservive.2005).
Aspek terpenting dari keindahan Alquran, dalam sudut pandang sastra, adalah gaya bahasanya. Gaya bahasa Alquran ini dapat dilihat pengaruhnya pada kitab Masnawi Maknawi karya Jalâlud-Dîn Rûmy dan kitab puisi karya Syamsud-Dîn Châfidh yang menjadi karya agung (masterpiece) dalam sastra Persia (www.irib.ir/worldservive.2005). Membaca indah Alquran dengan berbagai model lagu itu, kemudian menjadi tradisi tilâwatil-Qur`ân dalam masyarakat muslim di seluruh dunia.
Tradisi bacaan Alquran dengan lagu, termasuk tujuh gaya bacaannya, berpengaruh kuat terhadap gaya pelantunan nasyid di berbagai negara Muslim, khususnya di Mesir dan Indonesia. Hal ini didasarkan pada satu asumsi bahwa dalam tradisi kehidupan umat Islam, seorang pelantun nasyîd adalah seorang qâri` dan juga seorang muadzin (Frishkopf, 2000:2).
Masyarakat Muslim pada umumnya selalu mendengar bacaan Alquran dengan tajwîdnya yang baik setiap hari dan mendengar alunan suara adzan setiap hari lima kali dengan suara yang merdu. Hal ini adalah warisan kenabian yang diajarkan oleh Nabi kepada umatnya. Dalam konteks suara adzan yang indah dan merdu yang dikumdangkan oleh muadzin, Nabi pernah bersabda kepada para sahabatnya : “Ajarkanlah adzan kepada Bilâl, karena suaranya sangat merdu”. Pada zaman modern ini, suara yang merdu itu tidak hanya dari tilâwatil-Quran dan adzan saja, tetapi juga dari suara nasyîd yang dapat menyentuh hati dan menggetarkan perasaan (Qardhâwy, 1977 dalam media.isnet.org/islam).
Nasyîd tampak jauh lebih fleksibel dalam tampilan bila dibandingkan dengan tilâwatil-Qur’an, ia lebih bebas disandingkan dengan unsur musik lain. Sebagian orang Mesir mampu membedakan dengan jelas perbedaan antara nasyîd dan lagu biasa, padahal dalam konsep dan praktik, jelas tidak terpisahkan. Ada rangkaian kesatuan di antara tampilan nasyîd religius dan lagu-lagu nonreligius. Sampai penghujung abad ke-20, upaya untuk memisahkan nasyîd dengan lagu biasa adalah satu kemustahilan. Selama abad ke-19, tradisi agama dan seni saling mengisi, berdialog sehingga mencipta karya yang dikenal sebagai turâts qadîm (tradisi lama).
Secara bertahap lagu-lagu religius dan nonreligius kini mulai merambah wilayah industri musik komersial yang lebih mejanjikan keuntungan dan sekaligus menariknya keluar menjauh dari lingkaran tradisi lama agama. Bagaimanapun, pengaruh kuat naluri bisnis musik komersial telah melenyapkan batas-batas yang selama ini tetap dipegang. Selama pertengahan sampai akhir abad ke-20, kelompok tengah-tengah di antara kelompok musik pop dan kelompok musik religius telah banyak merilis nasyîd versi orkestra yang secara kuat dipengaruhi oleh tradisi musik kota. Bahkan tidak jarang terkadang seorang syaykh (pakar dan pelantun musik religius) tampil bersama dengan seorang mutribin (penyanyi pop) membawakan lagu-lagu religius (Frishkopf, 2000:2).
Dalam wacana nasyîd, orang Mesir membedakan genre nasyîd menurut siapa penyanyinya, bagaimana gaya penampilannya, serta teks dan konteksnya. Penampilan nasyîd yang benar mestinya ditafsirkan sebagai sebuah aksi religius, wujud lain dari bentuk peribadatan kepada Allah, ekspresi rasa religiositas atau dakwah Islam. Pada saat bersamaan, unsur estetika dan hiburan yang muncul sebenarnya masih dapat diterima dengan syarat tidak demi estetika dan hiburan itu sendiri. Hal ini mengisyaratkan bahwa nasyîd membawa nilai-nilai religius. Nasyîd harus ditempatkan dalam sebuah konteks sakral yang tepat, yang masih berhubungan dengan semangat religiositas. Dalam batas-batas inilah, secara eksplisit nasyîd dapat ditampilkan dalam acara-acara religius yang lebih bersifat sosial. Nilai puncak profesionalisme seorang munsyid (pelantun nasyîd) adalah beribadah kepada Allah dan menghibur umat Islam (Frishkopf, 2000:2).
Dari tinjauan kritis, teks harus ditempatkan sebagai sentral dalam penampilan nasyîd. Oleh karena itulah, kualitas dan pesan yang dikandungnya menjadi penting. Tema utama nasyîd adalah tasbîch, ibtihâl, du’â, madîch (sanjungan), ghazal kepada Nabi dan keluarganya, ekspresi pengalaman spiritual, kisah-kisah (qishas) para pahlawan, dan nasihat untuk para pendengar. Ambiguitas terkadang muncul dengan penggunaan puisi-puisi cinta yang terlalu mistik dan erotis. Akan tetapi, secara umum kandungan nasyîd adalah doa kepada Allah dan sanjungan untuk Nabi. Puisi-puisi religius juga banyak dijumpai di sepanjang sejarah Islam yang ditulis oleh individu-individu yang terkenal, baik sebagai ilmuwan maupun sufi. Karya-karya mereka dianggap sebagai model atau aturan dalam ekspresi linguistik. Dalam hal ini, puisi religius juga ditulis oleh sebagian sahabat Nabi, di antaranya, Chassan ibn Tsâbit, wafat 659 M, Imâm asy-Syâfi’i, wafat 820 M); dan para sarjana Al-Azhar, di antaranya Syaykh Shâlih al-Ja’fary, wafat 1978 M. Puisi-puisi ini seringkali ditampilkan sebagai nasyîd. Bahasa Arab klasik, bahasa wahyu, dan tradisi Islam, biasanya lebih disukai, khususnya dalam genre kasidah, tetapi bentuk bahasa percakapan biasa (mawwal, zajal) juga lebih banyak ditampilkan karena aksesibilitasnya cukup tinggi, khususnya di wilayah pedesaan.
Di samping fungsi dan kualitas teks, fungsi dan kualitas suara juga dipandang memilki makna penting dalam penampilan nasyîd. Vokalisasi melodis menjadikan teks tampak lebih hidup, apalagi bila diperkuat dengan gaya ekspresi perasaan sang penyanyi akan membuat nasyîd menjadi lebih sempurna. Kehadiran seorang penyanyi solo yang handal diperlukan demi menggugah perasaan pendengar, apalagi bila ia memiliki artikulasi suara yang jernih dan merdu. Tidak ada aturan baku dalam teori pelantunan nasyîd, tetapi yang pasti prinsip-prinsip tajwîd diterapkan di dalamnya. Hal itu semata demi memudahkan pemahaman serta menjaga aura sakral teks. Seorang munsyid biasanya dengan mudah melafalkan teks-teks nasyîd karena pengetahuan dan kecakapannya (Frishkopf, 2000:3).
Tajwîd tidak hanya penting dalam membaca ayat-ayat Alquran, tetapi juga penting dalam melantunkan nasyîd. Dalam konteks ini, tajwîd diartikan sebagai ilmu yang mempelajari cara membaca Alquran dengan baik, benar, jelas, teratur, perlahan, dan tidak terburu-buru, baik itu dalam membaca huruf-hurufnya maupun kalimat-kalimatnya (Syafi’i, 1967:3). Jadi, seorang munsyid harus memahami dan menguasai ilmu tajwîd dalam melantunkan nasyîdnya agar tetap terdengar merdu. Tanpa ia menguasai ilmu tajwîd, teks nasyîd yang dibaca kemungkinan besar akan salah bacaannya, terutama dalam panjang-pendek bacaan sebuah kata atau kalimat sehingga akan menghilangkan keindahan arti nasyîd
Tampilan nasyîd dengan seorang penyanyi solo bukan satu-satunya pertunjukan karena ada tampilan lain, yaitu nasyîd dengan paduan suara yang juga banyak diminati. Alat musik yang sering dimainkan dalam nasyîd adalah terbang, beragam jenis perkusi, dan seruling. Instrumen musik yang terakhir ini menjadi primadona di kalangan sufi. Selanjutnya adalah biola, sitar, dan sejenis tamborin. Instrumen musik tersebut dimainkan secara individu, kelompok kecil (ansambel) atau dalam kelompok yang lebih besar (orkestra). Dalam praktiknya, instrumen tersebut dimainkan secara bersahut-sahutan. Pada bagian akhir lagu, sang pemusik akan membuat improvisasi dengan memainkan irama yang disebut sebagai ‘alunan religius’. Standar orkestra Arab adalah memperagakan ketukan perkusi dengan tempo yang lebih cepat dan keras, diiringi suara seruling melengking tinggi, kemudian kelompok paduan suara akan mengakhirinya dengan tarikan suara keras seraya menyebut kalimat-kalimat dzikir (Frishkopf, 2000:3). Itulah lagu Arab yang memberikan simbol religius dengan kemasan alat-alat musik modern, yang perlu mendapat perhatian dan pemahaman yang sebaik-baiknya.
Ada hal yang menarik dalam perkembangan nasyid di dunia Islam, termasuk di Mesir, Malaysia, dan Indonesia, yaitu menjamurnya kelompok nasyid dengan menyanyikan lagu tanpa iringan alat musik. Fenomena ini disebut nasyid acapella, yaitu para penyanyi, baik sayyid maupun sayyidah (penyanyi nasyîd perempuan) menyanyikan lagu-lagu religius dengan mengandalkan suara mulut yang menghasilkan suara seperti alat musik. Nasyid acapella ini sebenarnya meniru gaya musik gereja di Spanyol – disebut deep song - yang bersumber dari Cante Hondo dan biasa dinyanyikan oleh kaum gypsy Spanyol (www.alhambra-productions.com.2003). Para pengikut gereja di Spanyol pada saat itu dilarang untuk menggunakan alat-alat musik sehingga para pendoa di gereja menyanyikan lagu-lagu kerohanian dengan mengandalkan suara mulut yang menghasilkan suara seperti alat musik (Najib, 2005 dalam www.padhang-bulan.com/modules). Hal yang menarik adalah dalam Islam – saat ini di sebagian besar negeri Muslim – tidak ada larangan formal bagi para penyanyi muslim (sayyid) dan muslimah (sayyidah) untuk menggunakan alat-alat musik dalam lagu-lagu nasyid mereka. Jadi, fenomena nasyid acapella lebih merupakan sebuah kreativitas seni musik daripada sebuah reaksi terhadap pelarangan penggunaan alat-alat musik di kalangan kaum Muslim.
Kembali ke bahasan mengenai lagu Arab dapat dikatakan bahwa mendengarkan dan memahami lagu Arab adalah perkara yang tidak mudah. Karena di samping komposisinya yang panjang, juga strukturnya dibangun secara bertahap, baris demi baris, frase demi frase, dan terkadang kata demi kata. Untuk memahaminya mesti diperhatikan nuansa yang meliputinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Jihâd Racy dan Salwâ as-Shawan bahwa mendengarkan lagu Arab mesti melibatkan diri secara aktif dalam seluruh perjalanan kesejarahannya, mengikuti detail melodi, teks, respon, persepsi, dan rasa (Danielson, 1996:3). Dalam hal ini, nasyid sebagai salah satu lagu Arab, saat ini, dipandang sebagai genre yang mewarnai dunia musik Arab modern. Keunikan nasyid, sebagai lagu khusus yang ideal, ditujukan untuk sarana berdoa dan melantunkan lagu pujian kepada Nabi.
Gambaran ideal nasyîd adalah lagu serius, kontemplatif, dan anggun. Oleh karena itu, bila ada sedikit saja campuran dengan unsur-unsur di luar dirinya, misalnya musik pop, akan segera menuai kritik. Secara kultural, nasyîd menyuarakan nilai otentik yang merujuk pada tradisi Arab-Islam dan menolak kehadiran musik Barat kontemporer yang komersial. Genre nasyîd berpijak kokoh pada konsep musik otentiknya dan berusaha menghidupkan kembali lagu-lagu rakyat serta konsep bermusik dengan basis tilâwatil-Qur’ân dan tradisi lama. Dalam hal ini, bagi pendegar awam, akan sulit dibedakan antara tilâwah dan ibtihâlat. Di antara pelantun nasyîd yang populer dengan karya-karya rekaman mereka adalah Syaykh Ibrâhîm al-Farrân dan Thâha al-Fashny (Frishkopf, 2000:4), sedangkan pelantun nasyîd Kasidah Burdah yang popular di Mesir, juga masuk dapur rekaman, adalah Hisâm Shaqar dan ‘Abdul-‘Adhîm al-Atwâny (Manshur, 2006).
Selain itu, di Mesir saat ini lahir kelompok nasyîd yang lirik lagu-lagunya mengumandangkan perjuangan (jihâd) yang bernama usratul-wâdy, yang anggotanya berasal dari pemuda-pemuda Universitas Al-Azhar. Lirik lagu-lagu kelompok nasyîd ini diambil dari tulisan-tulisan Sayyid Quthub, seorang pemikir dan pejuang Arab Mesir yang dihukum gantung oleh Pemerintah Mesir (www.saifulislam.com.2004).
Berikut ini adalah teks lagu yang dinyanyikan oleh kelompok nasyîd usratul-wâdy yang liriknya diambil dari puisi Sayyid Quthub yang berjudul “wasiat” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Budi Sudarsono.
Seandainya kau tangisi kematianku
dan kau siram pusaraku dengan air matamu
maka di atas tulangku yang hancur luluh
nyalakanlah obor buat umat mulia ini
dan teruskan perjalanan ke gerbang jaya (2 x)

Kematianku adalah suatu perjalanan
mendapatkan kekasih yang sedang merinduku
taman-taman di surga bangga menerimaku
burung-burung berkicau riang menyambutku
berbahagialah hidupku di alam abadi

Seandainya kau tangisi kematianku
dan kau siram pusaraku dengan air matamu
maka di atas tulangku yang hancur luluh
nyalakanlah obor buat umat mulia ini
dan teruskan perjalanan ke gerbang jaya (reff)
Kuasa kegelapan pasti akan hancur
dan alam ini akan disinari fajar lagi
biarlah rohku terbang mendapatkan rindu-Nya
janganlah gentar berkelana di alam abadi
nun di sana fajar sedang memencar

(kembali ke reff) (…/content.php?q_idn_content.2005).
Teknik vokal yang sempurna dan dapat mempercantik teks sangat dipertimbangkan dalam tilâwatil-Qur’an. Fleksibilitas, ekspresivitas, emosionalitas, dan improvisasi melodis menjadi sentral di dalamnya. Alunan musik cepat dan menghentak seperti dalam musik pop selalu dihindari. Satu ayat, dalam tilâwatil-Qur’ân terkadang dibaca dengan sangat pelan dan ada jeda di sana-sini. Dalam tradisi musik dan tilâwatil-Qur’an, biasanya para pendengar akan memberikan feedback atau balasan suara sang penyanyi dengan kata-kata seperti ‘Allah!’ atau ‘yâ, salâm’ (Frishkopf, 2000:4).
Idealitas nasyîd dinilai dari kualitas suara dan konteks hingga status sosial dan visualisasi. Sebutan ‘syaykh’ diberikan kepada sang munsyid karena kecakapan, pengetahuan, pengalaman, dan sikapnya yang memang mewakili gambaran seorang syaykh. Para penyanyi nasyîd biasanya memakai pakaian tradisional Arab Islam : sorban, jubah, syal, dan tasbeh. Pakaian seorang munsyid berbeda dengan pakaian seorang qâri’ atau khâtib, dan lebih kontras lagi, dengan pakaian seorang mutribin atau penyanyi pop (Frishkopf, 2000:4).
Dahulu, sudah ada sejumlah penyanyi wanita seperti Hajjah Suwayisiyyah (abad ke-19) yang tampil di depan publik dengan pakaian sopan. Akan tetapi, para pembaru Islam abad ke-20 mengkampanyekan bahwa suara wanita adalah aurat. Oleh karena itu, badan dan suara wanita harus dihindarkan dari wilayah umum. Sebagian orang Mesir kurang sependapat dengan pandangan ini karena bagi mereka, sikap ini berakar dari adanya rasa tidak suka sebuah kelompok atas peran lebih yang dimiliki oleh kaum wanita. Akibat ironis dari kampanye ini adalah bahwa kini banyak penyanyi wanita yang justru mencari kesempatan untuk dapat tampil di night club dan tempat-tempat hiburan malam (Frishkopf, 2000:4).
E. Kasidah Burdah dan Rekaman Nasyîd di Mesir
Kasidah Burdah yang semula hanya dibacakan secara lisan di perkampungan, perkotaan, dan di lembaga-lembaga pendidikan, pada abad ke-20 memasuki dunia rekaman seiring dengan kemunculan fenomena nasyîd di Mesir. Dalam kaitan ini, Kasidah Burdah dan nasyîd lainnya, selama abad ke-20, telah memasuki dapur rekaman dan diproduksi sebagai komoditas untuk media massa. Pertama-tama dalam bentuk piringan hitam dan kemudian dalam bentuk kaset. Rekaman-rekaman dalam piringan hitam dan kaset tersebut tidak hanya menampilkan suara dan teks, tetapi juga simbol-simbol yang dipakai sebagai label kaset demi mempercantik tampilannya. Di antara simbol-simbol yang sering dipakai adalah masjid atau situs-situs suci, menara, dan bulan sabit.
Sebagian besar nasyîd direkam dan dikonsumsi oleh orang Mesir sendiri dan bukan untuk para sarjana atau penikmat musik di Barat. Kaset-kaset itu adalah artefak bagi budaya Mesir. Seluruh genre nasyîd, termasuk nasihat-nasihat agama, telah dikemas dalam format kaset, tetapi seiring dengan budaya rekaman, pertunjukan nasyîd secara live menjadi jarang. Hal ini berbeda dengan industri musik pop yang terus mengalami peningkatan dan bebas dari aturan ketat pemerintah (Frishkopf, 2000:5). Namun demikian, perkembangan nasyîd di Mesir terus mengalami kemajuan yang penting. Hal ini bisa dilihat pada kemunculan kelompok-kelompok nasyîd yang baru, seperti usratul-firdaus yang dalam album pertamanya menampilkan pelantun-pelantun nasyîd, antara lain Majdan Aliyas dan Erfino Jauhary. Tema-tema lagu pada kelompok nasyîd ini berbicara tentang perjuangan dan mencari ilmu di jalan Allah (www.saifulislam.com.2004).

F. Kasidah Burdah di Antara Nasyîd dan Lagu-Lagu Pop
Kasidah Burdah secara tekstual dapat dikategorikan sebagai nasyid warisan lama (turâts qadîm) yang mendapat sentuhan musik Arab modern. Hal ini dapat dilihat pada aneka ragam pembacaan Kasidah Burdah yang dinyanyikan oleh para penyanyi yang berpredikat sayyid (penyanyi khusus nasyîd) dan mutrib (penyanyi pop). Realitas musik Arab yang berakulturasi dan berkolaborasi tersebut menunjukkan adanya percampuran ikon-ikon budaya religius dan budaya pop dalam perkembangan musik Arab.
Sampai penghujung abad ke-20, ikon-ikon budaya dan religiositas Islam tampak overlapping hingga kemudian bergabung menjadi apa yang sekarang disebut sebagai warisan lama (turâts qadîm). Pada masa ini, kegiatan pendidikan dilaksanakan di kuttab, yaitu tempat siswa belajar membaca Alquran dan menerima pengetahuan dasar bahasa dan sastra Arab klasik. Di sinilah, hampir seluruh penyanyi memulai pendidikannya. Mereka memulainya dengan membawakan lagu-lagu religius yang kemudian mengantarkan mereka berpredikat sebagai syaykh.
Selama periode ini, antara nasyîd dan lagu-lagu pop mengalami hubungan yang sangat dekat sehingga sulit dibedakan antara keduanya. Lirik lagu cinta kasidah dan muwashsahat hampir tidak dapat dibedakan dari lirik lagu atau puisi kaum sufi. Pertunjukan lagu religius tidak hanya dalam hari-hari besar Islam, seperti malam Ramadhan atau Maulid Nabi, tetapi juga dalam pesta-pesta pernikahan. Sebaliknya, lirik lagu pop terkadang juga dipinjam dan dipergunakan dalam pertunjukan lagu-lagu religius, begitu juga dengan intstrumen musiknya. Seperti dalam penampilan seorang penyanyi nasyîd, seorang mutribin (penyanyi lagu pop) juga diiringi dengan kelompok paduan suara (Frishkopf, 2000:5).
Selama awal abad ke-20, genre nasyîd yang paling banyak direkam adalah tawâshih dîniyyah dan qashîdah dîniyyah. Dalam tawâshih dîniyyah, biasanya sang munsyid akan bernyanyi secara solo dengan aneka improvisasi. Sementara kelompok paduan suara (chorus) akan menyanyikan lirik lain sebagai latar belakang lagu utama. Dalam pertunjukan ini hanya sebagian kecil instrumen musik yang dipakai, yaitu hanya sekedar tambahan.
Industri musik di awal abad ke-20 berkembang bersama dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, yang dampaknya adalah nasyîd memasuki dunia rekaman secara besar-besaran. Beberapa nama besar munsyid yang sukses dengan album mereka adalah Syaykh Yûsuf al-Minyâwy, Darwish al-Harîry, Abul-‘Illa Muchammad, Âly Machmûd, dan Muhriz Sulaymân (Frishkopf, 2000:6). Adapun para penyanyi pop (mutribin), atau disebut juga vocalist (Ba’albaki, 1977:1034), yang biasa menyanyikan lagu-lagu nasyîd, yang dikenal luas oleh masyarakat Arab, antara lain adalah Muchammad Fuad dan Amrû Diyâb. Misalnya, lagu nurul’ayn yang dinyanyikan oleh Amrû Diyâb diiringi dengan alat-alat musik seperi gitar, “terbang”, dan accordeon. Jadi, lagu ini merupakan gabungan antara nasyid dan musik pop. Lirik-lirik lagu pop yang dinyanyikan oleh Muchammad Fuad, seperti lagu al-chubbul-chaqîqy, bertema sosial dan keluarga, sedangkan lagu alfu syahîd yang dinyanyikan secara duet oleh Raghîb Âlamy dan Alissa bertema perjuangan rakyat Palestina untuk memerdekakan negaranya dari penjajahan Israel.
Lagu yang berirama nasyid yang saat ini populer di dunia Arab adalah berjudul al-chilmul-‘araby. Lagu ini dinyanyikan secara solo dan paduan suara oleh dua puluh orang penyanyi laki-laki dan perempuan secara bergantian. Lagu ini berdurasi enam belas menit, termasuk yang paling panjang dibandingkan dengan lagu-lagu lain yang hanya berdurasi rata-rata lima menit. Tema utama lagu ini adalah harapan bangsa Arab untuk mewujudkan perdamaian abadi dan kesejahteraan bagi masyarakat Arab secara keseluruhan (lihat VCD Lagu-Lagu Arab 4).
Di pihak lain, dapat pula dilihat perkembangan pesat lagu-lagu pop Arab yang saat ini populer di negara-negara Arab, khususnya Mesir. Di antara penyanyi-penyanyi pop murni yang saat ini dikenal luas oleh masyarakat Arab adalah Myrinâ Khayyât dengan lagu hitnya Bi asykâli musy’ilâny kayyâlah dan the four cats dengan lagu hitnya ya, nassiny. Lirik lagu-lagu mereka adalah bertema cinta dan kehidupan muda-mudi zaman modern (lihat VCD Lagu-Lagu Arab 4).

G. Kasidah Burdah sebagai Tawâshih Dîniyyah dan Doa (Ibtihâlat)
Bait-bait Kasidah Burdah berisi pesan-pesan keagamaan (tawâshih dîniyyah) dan berisi pula doa-doa yang sengaja dicipta oleh penyairnya, al-Bûshîry, untuk menasihati dan mendoakan dirinya sendiri dan kaum muslimin yang membacanya. Pesan keagamaan dan doa dalam bait-bait Kasidah Burdah tersebut, pada zaman modern ini, banyak diekspresikan melalui nyanyian atau seni musik. Jadi, pesan keagamaan dan doa itu tidak hanya melalui tradisi lisan di perkampungan, perkotaan, masjid-masjid, dan lembaga-lembaga pendidikan saja.
Sampai pertengahan abad ke-20 tawâshih dîniyyah (ibtihâlat dan qashâ`id dîniyyah) masih dinyanyikan walaupun sekarang telah keluar dari arus utama musik perkotaan Arab (tarab). Musik perkotaan Arab berorientasi semata pada hiburan pop, yang dalam hal ini, para penyanyi baru adalah mereka yang ‘hijrah’. Apalagi dengan perkembangan sekolah sekuler yang pesat sehingga menyebabkan sekolah Alquran, bahasa, dan sastra (kuttab) banyak yang tutup. Pada saat yang sama, tawâshih menjadi redup popularitasnya dalam masyarakat. Sebagai akibatnya, tawâshih tidak lagi dianggap sebagai musik religius yang layak ditampilkan pada peringatan hari-hari keagamaan. Walaupun begitu, Syaykh Thâha al-Fashny tetap berupaya menghidupkan kembali tradisi genre nasyîd ini.
Ketidakjelasan posisi dan konsep tawâshih menjadikannya mengalami kemunduran selama seperempat abad terakhir. Dewasa ini, rekaman tawâshih masih sering diudarakan di radio, khususnya selama hari-hari besar keagamaan, tetapi ia tidak lagi dipertunjukkan secara live. Adapun qashîdah dîniyyah terus dinyanyikan sebagai lagu sakral dalam upacara kaum sufi. Para ahli dan peneliti seni menganggap Syaykh Thâha al-Fashny sebagai penyanyi tawâshih terbesar pada abad ke-20 yang suaranya sungguh mempesona. Nama-nama besar lainnya adalah Syaykh Muchammad al-Fayyûmy dan Syaykh Nasrud-Dîn Tubbar. Kaset-kaset mereka sekarang adalah koleksi elit dan menjadi mainstream (arus utama) seni Islam, bahkan dianggap sebagai bagian dari tradisi di semua level sosial, baik tradisi sufi maupun tradisi musik kontemporer Arab (Frishkopf, 2000:6).
Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa Kasidah Burdah termasuk kelompok nasihat-nasihat keagamaan (tawashih diniyyah) dan juga kasidah keagamaan (qashâ`id dîniyyah) yang dapat dinyanyikan, baik secara sendirian (solo) maupun bersama-sama atau paduan suara (chorus). Selain itu, Kasidah Burdah juga dapat dinyanyikan tanpa iringan musik, cukup dengan suara pelantunnya yang merdu dengan berbagai gaya bacaan (qirâ`at) yang terkenal di dunia Arab dan dunia Muslim. Sementara itu, sebagian besar nasyîd telah banyak digunakan dalam konteks sosial yang beragam, terdapat dua genre yang sampai sekarang tetap dengan unsur liturgisnya, yaitu ibtihâlat dan nasyîd sufi.
Ibtihâlat secara etimologis artinya doa sepenuh hati (Munawwir, 1984:124), tetapi dalam konteks ini, ibtihalat diartikan sebagai tampilan penyanyi solo yang nonmetrik, tanpa paduan suara, tanpa musik, dan tanpa improvisasi. Ibtihâlat sebenarnya sangat jauh untuk disebut sebagai musik karena pada dasarnya adalah doa yang berkembang luas di kalangan Islam konservatif. Di samping berisi doa-doa, ibtihâlat juga berisi sanjungan dan pujian kepada Nabi. Seluruh tampilan ibtihâlat sekali lagi adalah doa. Sang mubtahil (pembaca doa) berpakain seperti layaknya seorang pembaca ayat-ayat Alquran (Frishkopf, 2000:7).
Walaupun ibtihâlat yang sebenarnya tidak pernah populer sebagai hiburan, tetapi ia menempati peran sentral dalam praktik keagamaan Islam di Mesir. Salat Subuh seringkali didahului dengan ibtihalat untuk kemudian diakhiri dengan adzan. Ibtihâlat biasanya juga disiarkan radio setiap hari dan dipancarluaskan di salah satu masjid jâmi’ di Kairo melalui pengeras suara (speaker) masjid. Ibtihâlat juga sering ditampilkan sebelum salat pada bulan Ramadhan.
Di Mesir bisa didengarkan siaran radio sebelum Maghrib yang mengudarakan alunan mubtahil kontemporer yang terkenal, seperti Syaykh Muchammad al-Hilbâwy atau Syaykh Sa’îd Châfidz. Genre ibtihâlat dekat dengan lagu-lagu sekuler lama, terutama kasidah, yang sampai sekarang masih sering dinyanyikan oleh sejumlah artis, seperti Sabah Fakhry dari Suriah. Gaya ibtihâlat solo yang biasa ditampilkannya dikembangkan dalam liturgi sufi dan dzikir jamaah (Frishkopf, 2000:8).
Bagi liturgi kaum sufi, nasyîd adalah sentral dan sering digunakan dalam mengiringi dzikir. Madich (pujian) dan doa menjadi tema-tema utama dalam teks-teks nasyîd sufi aliran yang antara satu dengan yang lainnya berbeda. Bergantung pada aliran dan guru dimana teks tersebut dibuat. Sebagian nasyîd ada yang telah direkam secara profesional, tetapi masih ada juga yang amatir. Walaupun kelompok sufi dipandang sebagai kaum pinggiran dan kelas bawah, tetapi anggota yang dimiliknya mencakup keselurahan kelas ekonomi dan sosial di Mesir. Jumlah anggota kelompok sufi pada tahun 1985 diperkirakan mencapai tiga juta orang. Liturgi kaum sufi di Mesir tidak terlalu diorientasilan pada kepentingan komersial, dan munsyid juga tidak berambisi untuk menjadi profesional sehingga dengan begitu akan terkenal. Akibatnya, rekaman komersial liturgi mereka tidak pernah dipublikasikan. Kalaupun ada, hanya sedikit dan rekaman itu dikonsumsi untuk kalangan sendiri (Frishkopf, 2000:8).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Kasidah Burdah termasuk teks ibtihâlat atau doa karena di dalam bait-baitnya terdapat kalimat yang berisi doa atau permohonan sang penyair kepada Allah swt untuk keselamatan dan kebahagiaan Nabi Muhammad saw dan umatnya sepanjang zaman. Sebagai seorang penyair sufi, al-Bûshîry menyusun bait-bait madach dalam kasidahnya menurut perspektif tasawuf dan dari sudut pandang sebagai penganut Tarekat Syâdziliyyah. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Kasidah Burdah disebut sebagai puisi sufi, yang berisi madach kepada Nabi, yang dibaca oleh sebagian besar kaum sufi Mesir.
H. Kasidah Burdah sebagai Kisah Keagamaan (Qishshah Dîniyyah)
Kasidah Burdah adalah puisi pujian yang berisi cerita kehidupan Nabi, baik yang menyangkut pribadinya maupun perjuangannya sebagai Rasul. Artinya, Kasidah Burdah berisi cerita keagamaan (qishshah dîniyyah) yang memfokuskan tema cerita pada kehidupan Nabi, yang pada gilirannya matan Kasidah Burdah dipandang sebagai puisi coloquial sedangkan syarahnya sebagai prosa naratif. Dalam kaitan ini, Kasidah Burdah apabila dinyanyikan oleh munsyid, yang bergelar sebagai sayyid, yang diiringi dengan musik ansambel maka akan tampak lebih besar daripada musik dalam dzikir. Berikut ini diuraikan kehidupan qishshah dîniyyah di Mesir sebagai latar pembahasan Kasidah Burdah sebagai genre qishshah dîniyyah yang secara khusus disebut cerita kenabian (qishshah nabawiyyah).
Di Delta Mesir, qishshah dîniyyah lebih populer daripada dzikir sementara di Port Sa’id kondisinya berbanding terbalik. Sebagian munsyid juga melantunkan baik qishshah maupun dzikir bahkan terkadang mencampurkan mereka dalam satu penampilan atau pertunjukan. Genre ini, qishshah dîniyyah, sebenarnya lahir dan sebagai kelanjutan dari tradisi lama yang mengalami kemunduran selama lebih dari 50 tahun, yaitu, nasyîd maulid lama (mawaldi) dan nasyîd pujian lama (madach). Kalau yang pertama selalu diiringi seperangkat perkusi dan paduan suara dalam pertunjukannya, tetapi yang kedua hanya diiringi “terbang” saja. Sayyid (pelantun qishshah dîniyyah) modern mengkombinasikan tradisi ini dengan kelompok musik yang lebih besar, dengan gaya campuran antara musik rakyat (sya’by) dan musik kota, instrumen lain serta melodi. Seorang sayyid biasa mengenakan jubah putih serta topi. Pertunjukan biasa diadakan pada saat hari-hari besar agama, misalnya Maulid Nabi dan pesta pernikahan. Qishshah dîniyyah termasuk musik kontemporer dari genre nasyîd, yang dalam hal ini, partisipasi wanita diperbolehkan di dalamnya sebagai lead vocal dan mereka biasa disebut sayyidah atau munsyidah (Frishkopf, 2000:10).
Ada dua jenis qishshah dîniyyah. Pertama adalah qishshah nabawiyyah (sejarah Nabi), menceritakan risalat kenabian Muhammad saw. Kedua adalah qishshah khayâliyyah (kisah rekaan), fiktif tetapi bermuatan moral. Qishshah dinikmati sebagai hiburan karena lebih ringan bila dibandingkan genre nasyîd yang lain, terutama qishshah khayâliyyah (Frishkopf, 2000:11).
Industri rekaman yang berpusat di Tanta berkembang sangat pesat dan melahirkan banyak artis baru di dunia rekaman. Bila lagu-lagu yang dimainkan dalam pertunjukan langsung begitu panjang, namun untuk alasan ekonomis lagu-lagu dalam rekaman diperpendek, kira-kira berdurasi 45 menit untuk satu side. Beberapa nama munsyid yang terkenal di Delta adalah Syaykh Achmad al-Mujâhid, as-Sayyid Khamîs, dan Sharaf Ibrâhîm at-Tamady. Adapun dari kalangan munsyidah (penyanyi nasyîd wanita) adalah Haniyyât Sya’bân dan Wafâ’ (Frishkopf, 2000:11). Demikian juga, pada akhir abad ke-20 Kasidah Burdah, sebagai qishshah nabawiyyah, telah memasuki dunia rekaman di Mesir dengan para pelantun nasyîd terkenal, yaitu al-Minyâwy dan Hisâm Shaqar dengan kaset rekamannya yang berjudul Burdatul-Madîch yang masing-masing terdiri atas dua buah kaset, dan ‘Abdul-‘Adhîm al-Atwâny dengan judul al-Burdah yang menerbitkan sebelas buah kaset (lihat al-Minyâwy, 1997; Shaqar dan al-Atwâny, 2005).
Berdasarkan kategori jenis qishshah dîniyyah tersebut dapat dikatakan bahwa Kasidah Burdah termasuk jenis kisah kenabian (qishshah nabawiyyah), karena di dalam bait-baitnya terdapat kisah kehidupan Nabi sebagai pemimpin agama dan umat yang dapat dijadikan teladan oleh masyarakat muslim saat ini dan masa mendatang.
I. Kasidah Burdah sebagai Lagu Keagamaan (Aghâny Dîniyyah)
Pada subbahasan ini dibicarakan posisi Kasidah Burdah dalam perkembangan industri musik keagamaan (aghâny dîniyyah) di Mesir, terutama genre nasyîd. Selanjutnya, pembahasan dikaitkan dengan peranan penyanyi lagu-lagu keagamaan yang terkenal, seperti Ummu Kultsûm, dalam meresepsi teks puisi madach Nabi yang dicipta oleh Achmad Syauqy.
Selama ini orang beranggapan bahwa usaha perluasan pasar nasyîd dilakukan dengan cara memasukkan unsur orkestra musik sekuler kota sehingga akhirnya menjadi nasyîd orkestra. Pada dasarnya, proses ini tidak terjadi dalam satu arah, tetapi dua arah (timbal-balik). Walaupun kecenderungan industri musik di Mesir adalah musik-musik pop, tetapi seringkali dijumpai pula seorang mutrib (penyanyi lagu-lagu pop) melakukan proses rekaman musik tarab dengan lirik atau teks-teks religius. Kecenderungan terakhir inilah yang kemudian dinamakan sebagai aghâny dîniyyah. Biasanya hal ini dilakukan untuk kepentingan film musikal atau drama bertemakan agama, misalnya, lagu-lagu Ummu Kultsûm dalam film musikal Rabî’ah al-Adawiyyah. Aghâny dîniyyah dinyanyikan oleh seorang penyanyi orkestra biasa, tetapi unsur atau elemen religiositas tetap ditekankan. Terkadang sang penyanyi cukup hanya dengan memakai simbol-simbol seorang munsyid dalam penampilannya. Upaya ini diambil dalam rangka memperkaya sense dan meningkatkan tanggung jawab seorang mutrib terhadap nilai-nilai artistik warisan masa lalu (turâts qadîm) karena jalur pendidikan musik yang biasanya ditempuh seorang mutrib telah jauh dari nilai tradisional (Frishkopf, 2000:11).
Dengan demikian, dapat dikelompokkan bahwa ada dua macam mutrib yang biasa melantunkan aghâny dîniyyah. Pertama, seorang mutrib yang membangun karier awal musiknya sebagai seorang syaykh atau syaykhah (pelantun nasyîd), tetapi ia meninggalkan basisnya dan beralih haluan, misalnya Syaykh Sayyid Makkâwy yang rekaman kasetnya dengan label “al-Masahharati” (lirik diambil dari syair karya Fu’ad Haddâd) sering diputar selama bulan Ramadhan. Contoh lain adalah Ummu Kultsûm yang pada akhir kariernya banyak merilis lagu-lagu religius, di antaranya adalah Ila ‘Arafâtil-Lâh (1955), Nahjul-Burdah (1946), Wulidal-Hudâ (1946), dan Ruba’iyyatul-Khayyâm (1949-1950) (Frishkopf, 2000:11). Karena adanya perubahan pendidikan musik setelah awal abad ke-20, maka saat ini sangat sulit dijumpai seorang penyanyi yang memiliki akar pada warisan silam (turâts qadîm) sebagai basis karier musiknya.
Kedua adalah mutrib yang asli, yaitu mereka yang menempuh pendidikan musiknya di sekolah-sekolah musik modern. Contoh dalam hal ini adalah Syaykh Abdul Châfidz, penyanyi besar genre ini (aghâny dîniyyah). Dia muncul pertama kali setelah Revolusi 1952 di Mesir sebagai spesialis lagu-lagu romantis dan nasional, tetapi dia juga menyanyikan lagu religius. Berikutnya adalah Muchammad Abdul-Muthâlib, walaupun ia bukan seorang syaykh, tetapi dia banyak merilis album religius.
Dalam hal ini, di satu pihak Ummu Kultsûm dapat dikategorikan sebagai pelantun nasyid (sayyidah), tetapi di pihak lain ia juga dipandang sebagai penyanyi lagu pop. Ummu Kultsûm mampu menyanyikan lagu-lagu neoklasik yang merupakan gabungan antara lagu-lagu keagamaan dan lagu-lagu pop, antara lain adalah : anâ fî Intidhârak (compact disk, Sono Cairo, Sono 142-E), ’ayis a’raf lâ tikun ghadban, tuwa idnî bi-sinîn, al-athlâl (compact disk, Sono Cairo 101), wa dârit al-ayyâm (compact disk, Sono Cairo 103), nahjul-burdah (compact disk, Sono Cairo 85058), inta ’umry (compact disk, Sono Cairo 102), salû qalby (cassette tape, Sono Cairo 81001). Berikut ini dikemukakan sekilas tentang karier Ummu Kultsûm di bidang musik Arab, khususnya sebagai pelantun nasyid (sayyidah) dan penyanyi pop (mutribah).
Ummu Kultsûm (1904-1975) adalah seorang penyanyi paling populer dan terkenal sepanjang abad ke-20 di dunia Arab. Koleksi rekaman lagunya lebih dari 300 judul. Konser tiap bulan pada Kamis malam yang digelar adalah konser yang legendaris karena pada pertunjukan itu dia bisa tampil solo selama 6,5 jam dan konser yang dimulai pada pukul 21.30 itu biasanya berakhir pada pukul 04:00 pagi. Dia dikenal sebagai artis yang piawai dan otentik, mendedikasikan talenta dan karyanya demi kemajuan musik dan puisi Arab. Dia menyandang gelar sebagai “Suara Mesir”. Ketika dia wafat, upacara pemakamannya lebih besar daripada upacara pemakaman Presiden Gamâl Abdun-Nâsher. Setelah lebih dari 20 tahun kepergiannya, masyarakat Arab masih sering memutar lagu-lagunya, semua stasiun radio di Kairo mengawali siarannya dengan mengudarakan lagu-lagu Ummu Kultsûm dan para penyanyi muda mengaransemen ulang lagu-lagunya (Danielson, 1996:1).
Ummu Kultsûm adalah musikus wanita yang berkarya dalam lingkungan dan situasi politik yang tengah bergolak. Sebagai seorang artis komersial, karier yang dirintisnya adalah manifestasi keterlibatan budaya pop dalam ekonomi dan politik. Status dan ketenaran yang diraihnya tidak lepas dari dukungan para peggemarnya. Rekaman lagu-lagunya mudah dibawa dan diputar dimana saja, dan hal ini menjadi fenomena unik karena muatan makna lagu-lagu yang dikandungnya. Ummu Kultsûm, dalam lagu-lagunya itu, menyampaikan pesan tentang keberimanan, nilai-nilai sosial, dan sejarah estetika lagu-lagu Arab (Danielson, 1996:1).
Sebagian besar lirik lagu Ummu Kultsûm ditulis oleh Achmad Syauqy, seorang penulis “kasidah burdah” (dalam asy-Syauqiyyât) yang terkenal sebagai teks kasidah transformasi dari al-Bûshîry (Syauqy, b.s.). Lagu religius pertamanya adalah salu qalby dan nahjul-burdah. Lagu pertama, dipersembahkan untuk peringatan Maulid Nabi pada tahun 1912, sedangkan lagu kedua adalah tanggapan atas syair dari abad ke-13 Kasidah Burdah karya al-Bûshîry. Kedua lagu tersebut diaransemen oleh Riyâdus-Sunbâty, seorang komposer muda yang banyak mencipta musik film dan mengajar di Institut Musik Arab. Lagu-lagu terbaik Ummu Kultsûm menjadi koleksi elit dan dirilis oleh Sono Cairo pada tahun 1980-an. Rekaman nahjul-burdah sangat panjang dan merupakan musik dramatis dengan sebuah lirik terkenal dan paling dominan (Danielson, 1996:2-4). Dalam hal ini, Riyâdus-Sunbâty dipandang berjasa dalam mengaransemen lagu-lagu Ummu Kultsûm menjadi bentuk kasidah.
Di samping sukses dengan kasidahnya, Riyâdus-Sunbâty dikenal juga sebagai musisi neoklasik abad ini dan genius dalam mengolah syair-syair rumit. Dia mencipta banyak kasidah lain dan lagu cinta selama sisa umur Ummu Kultsûm. Al-athlâl, menjadi lagu paling penting baginya. Lirik lagu tersebut ditulis oleh Ibrâhîm Nâjy dan diterbitkan pada akhir tahun 1940-an. Ummu Kultsûm menggubah lirik tersebut dan as-Sunbâty mengaransemennya sebagai musik pada tahun 1966. Bait terkenal dari lagu tersebut adalah “Beri aku kebebasan, bebaskan aku, dan akan aku beri kau segalanya, takkan aku sisakan sedikit pun” yang oleh para penggemarnya ini dinilai sebagai ungkapan atas sepak terjang Gamâl Abdun-Nâsher dan kekalahan perang 1967 dari Israel. Sejak saat itu, Ummu Kultsûm terus menyanyikan al-athlâl di seluruh penjuru dunia Arab dan Paris. Rekaman lagu dan konsernya memperkaya khazanah musik dan budaya Mesir. Kasidah neoklasiknya, yang sebagian besar musiknya diaransemen oleh as-Sunbâty telah mendongkrak reputasinya sebagai “juru kampanye” bahasa dan sastra Arab (Danielson, 1996:2). Lirik lagu al-Athlâl ini dapat didengarkan pada Compact Disk MP3, Mazika Ummu Kultsûm, Best of al-Athlâl.
Riyâdus-Sunbâty, musikus berbakat dan alumni sekolah musik modern, ia di samping menulis dan mencipta lagu-lagu religius untuk Ummu Kultsûm dan yang lain, ia juga merekam dan merilis lagunya sendiri “ilâhul-kaun” dengan aransemen orkestra dan paduan suara. Lagu-lagu religius rakyat dipopulerkan secara luas oleh Muchammad al-Kahlâwy, yang kerap muncul di teve dengan pakaian model seorang syaykh serta dikelilingi dengan simbol-simbol Islam. Fenomena terbaru adalah Âly al-Hajjar yang dikenal luas sebagai penyanyi pop dengan lagu hitnya “sallayna al-faqr feen”. Dalam versi videonya, ia tiba-tiba muncul dengan berpakaian Islam (jubah) seperti seorang syaykh (Frishkopf, 2000:12).
Selain Riyâdus-Sunbâty, terdapat juga komposer muda yang bernama Abdul-Wahhâb yang mencipta hampir semua lagu cinta Ummu Kultsûm. Ciri komposisi permainan musik Abdul-Wahhâb adalah panjang dengan pola dan ritme yang berubah-ubah. Inta ‘umry adalah lagu yang paling banyak disambut oleh penggemarnya (lihat VCD Ummu Kultsûm). Adapun lagu darit al-ayyâm adalah sebuah lagu sedih yang dirilis beberapa saat sebelum kematian Gamâl Abdun-Nâshir (Danielson, 1996:3). Lagu ini dapat didengarkan pada Compact Disk MP3 Ummu Kultsûm-Darit al-Ayyâm.
Jadi, bagi masyarakat Arab, khususnya Mesir, lagu-lagu Ummu Kultsûm berada dalam dua posisi, yaitu nasyid dan pop. Lagu-lagu pop lainnya yang populer di Mesir adalah yang diproduksi oleh Studio al-Muhâjirîn yang menampilkan penyanyi-penyanyi pop, tetapi dengan latar suara (backsound) para pemuda yang berpakaian model syaykh yang biasa digunakan oleh para penyanyi nasyid (lihat VCD Kumpulan Lagu-Lagu Arab 4).
Aghâny dîniyyah yang dibawakan seorang mutrib tetap tidak bisa disebut sebagai nasyîd walaupun sang mutrib itu telah mendapatkan pendidikan dan latihan keagamaan. Bagi sebagian besar orang, aghâny dîniyyah yang ditampilkan seorang mutrib tetap masih jauh dari karakteristik umum dari sebuah tampilan nasyîd, terlebih adalah penampilan sang pembawa lagu itu sendiri. Bagaimanapun, kemiripan antara nasyîd orkestra dan aghâny dîniyyah menggambarkan kelanjutan hubungan antara tradisi agama dan budaya pop.
Di samping aghâny dîniyyah yang banyak dilantunkan para mutrib profesional, beragam jenis lagu keagamaan rakyat (aghâny dîniyyah sya’biyyah) juga berkembang pesat, khusunya pada saat hari-hari besar Islam, seperti Ramadhan, Idul-Fitri, dan Idul-Adha. Lagu model terakhir ini, banyak dinyanyikan oleh orang, secara amatir, sebagai hiburan mereka sendiri di kalangan teman, keluarga, dan tetangga. Pengaruh media yang luas, terutama penetrasi teve dan radio yang menjangkau sampai daerah-daerah paling terpencil, telah memberikan dampaknya dengan menggeser aktivitas pertunjukan-pertunjukan langsung lagu religius amatir selama ini. Media dengan begitu telah ‘mengkodifikasikan’ lagu-lagu rakyat tersebut dengan merekamnya, menyebarkannya demi kepentingan komersial. Sekarang, bila sebuah keluarga ingin mendengarkan lagu-lagu rakyat yang dahulu biasa dinyanyikan bersama saat mereka pergi haji atau melakukan perjalanan, saat ini mereka tinggal memilih kaset dan memutarnya saja seperti ketika memutar lagu-lagu film yang lain. Lagu-lagu rakyat ini, pertama kali ditampilkan secara profesional oleh penyanyi dan artis pop, Laylâ Murâd, yang dia sendiri pada awalnya adalah seorang Yahudi kemudian masuk Islam. Sebuah penggalan dari lagunya : “ya, rayihin lin-Nabiyyil-ghâly.” (Frishkopf, 2000:12).
Dalam konteks ini, Kasidah Burdah juga dapat dikategorikan sebagai lagu rakyat populer (aghâni dîniyyah sya’biyyah) karena ia disambut dan dibaca oleh masyarakat Arab Mesir, baik di desa-desa maupun di kota-kota, baik melalui kegiatan pelisanan di masjid dan madrasah maupun melalui rekaman kaset dan seni pertunjukan. Jadi, dapat dikatakan bahwa Kasidah Burdah, sebagai karya sastra Arab klasik produk penyair sufi Mesir, bisa dimasukkan ke dalam genre nasyid klasik dan modern. Karena popularitasnya, Kasidah Burdah bisa cocok berada dalam berbagai genre musik Arab apa pun.

J. Kasidah Burdah dan Nasyîd Maulid
Resepsi Kasidah Burdah yang paling populer dibaca di negara-negara Islam adalah pada acara Maulid Nabi. Hal ini disebabkan oleh realitas tekstual bahwa di dalam bait-bait Kasidah Burdah terkandung sejarah kehidupan Nabi dan gambaran perilaku serta kepribadiannya yang luhur dan mulia. Oleh karena itu, wajarlah apabila pada setiap bulan Maulid, Kasidah Burdah dibaca oleh sejumlah besar kaum muslimin di berbagai penjuru dunia dengan maksud untuk mengenang dan meneladani Nabi. Pada uraian di bawah ini dikemukakan genre nasyîd sebagai musik Arab yang ikut mengangkat popularitas Kasidah Burdah sebagai nasyid warisan lama.
Maulid Nabi adalah hari kelahiran Nabi Muhammad yang diperingati setiap tanggal 12 Rabi’ul-Awwal. Peringatan Maulid Nabi memunculkan genre nasyîd dan teks-teks khusus yang berisi sanjungan, pujian, dan sejarah hidup Nabi Muhammad yang ditulis dalam bentuk puisi dan prosa. Teks-teks itu sebagian besar disandarkan pada sîrah nabawiyyah klasik yang disusun dan ditulis oleh Ibnu Ischâq (wafat 767) dan secara luas dipromosikan oleh Ibnu Hisyâm. Tiga buku sejenis yang banyak beredar dan dijadikan rujukan di Mesir adalah karya-karya yang ditulis oleh Ja’far Ibnu Chassan al-Barzanjy (wafat 1750), Abdur-Raûf al-Munâwy dari Kairo (wafat 1621), dan Sharafud-Dîn al-Bûshîry (wafat 1296 di Alexandria). Sebenarnya, para syaykh sufi juga banyak yang menyusun teks-teks maulid, tetapi hanya beredar di kalangan mereka sendiri (Frishkopf, 2000:6).
Pertunjukan lagu teks-teks maulid biasanya semarak dan meriah menjelang dan selama bulan-bulan kelahiran Nabi Muhammad. Pertunjukan itu dibagi dalam beberapa bagian, yaitu : tilâwatil-Qur’ân kemudian baru menyanyi, menggunakan format tawâshih dan qashâ’id dîniyyah. Nasyîd yang sering ditampilkan adalah karya-karya Syaykh Âly Machmûd, Syaykh Ibrâhîm al-Farrân, dan Syaykh Thâha al-Fashny. Pada tahun 1981, sebuah kelompok kecil nasyîd dari Tarekat Chamidiyyah Syâdziliyyah diundang ke Paris untuk menampilkan materi liturgis mereka dalam rangka Festival ke-8 Seni Tradisional. Di bawah arahan Syaykh Muchammad al-Hilbâwy, beberapa item dari lagu tersebut direkam dan dirilis untuk pasar musik dunia. Bagian ketiga dari Châmidiyyah Syâdziliyyah dinyanyikan oleh kelompok sufi. Suara penyanyi solo mendominasi sementara paduan suara hanya sesekali saja mengiringi. Penampilan nasyîd maulid lain juga dinyanyikan oleh Syaykh al-Hilbâwy yang dinyanyikan oleh paduan suara yang berbeda pula.
K. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Kasidah Burdah sebagai musik Islami sekurang-kurangnya memilki enam ciri yang mengantarkannya sebagai karya sastra musik Arab. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada awalnya pembacaan Kasidah Burdah pada seni pertunjukan dan rekaman adalah orang-orang Arab, khususnya Arab Mesir. Artinya, orang-orang Arab Mesirlah yang memasukkan Kasidah Burdah dalam dunia sastra musik Arab sehingga menjadi lebih populer di dunia Arab di luar dunia Arab. Dalam perkembangan musik nasyîd di Mesir, misalnya, Kasidah Burdah mendapat sambutan besar dari masyarakat konsumen, bahkan dalam seni pertunjukan, para penyanyi nasyîd, yang disebut sayyid atau sayyidah, selalu menyanyikan bait-bait Kasidah Burdah dalam berbagai ekspresi dan transformasi teksnya.
Dalam konteks perkembangan musik religius saat ini, Kasidah Burdah sebagai nasyîd diartikan sebagai lagu atau nyanyian. Nasyîd Kasidah Burdah saat ini telah menyebar ke berbagai negara, baik yang berpenduduk Muslim maupun negara-negara non-Muslim di lima benua : Afrika, Asia, Eropa, Amerika, dan Australia.
Selain itu, dalam pergaulannya dengan musik pop Arab, Kasidah Burdah yang dikategorikan sebagai musik nasyîd, dapat tampil bersama dalam satu panggung pertunjukan musik kontemporer. Dalam hal ini, para sayyid dan sayyidah dapat bernyanyi bersama dengan para mutrib dan mutribah. Dalam nyanyian Kasidah Burdah itu, terdapat berbagai maqâm (jenis lagu) yang dapat didendangkan oleh penyanyinya dengan bervariasi. Dalam hal ini, pendengar tidak akan merasa bosan mendengarkan setiap bait yang dinyanyikan oleh sayyid atau sayyidah. Jadi, dapat dikatakan bahwa Kasidah Burdah, dari zaman ke zaman, senantiasa dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan selera penikmatnya atau konsumennya. Kekuatan Kasidah Burdah terletak pada fitur tekstualnya dan makna setiap katanya yang dapat mempengaruhi batin pembaca dan pendengarnya.



DAFTAR PUSTAKA

A. Pustaka Acuan dan Sumber Data
al-Anshâry, Muchammad Al-Mishry. 1959. Al-Mukarrar, Fîmâ Tawâtara minal-Qirâ`atis-Sab’i wa tacharrara. Al-Charamayn, Singapura, Jeddah.
al-Atwâny, ’Abdul-’Adhîm. Al-Burdah. 2006. 11 kaset. Chamâdatu wa Imânufûn, Maydânu Sayyidinâ Hussayn, Al-Qâhirah.
Ba’albaky, Munîr. 1977. Al-Maurid, Qâmûs Injlîz-Arabiy. Dârul-’Ilmi lil-Malâyîn, Bayrût.
Baljon, J.M.S. 1991. Tafsir Qur’an Muslim Modern. Diterjemahkan oleh A. Niamullah Muiz dari judul Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden, E.J. Brill, 1968. Pustaka Firdaus, Jakarta.
Campbell, Kay Hardy (Boston University). “Recent Recordings of Traditional Music from the Arabian Gulf and Saudi Arabia” dalam Bulletin, July 1996. Middle East Studies Association of North America.
Danielson, Virginia (Harvard University). ”Listening to Umm Kulthûm” dalam Bulletin. December 1996. Middle East Studies Association of North America.
adz-Dzâty, Utsmân bin Sa’îd. b.s. At-Taysîr fil-Qirâ`atis-sab’iy. Al-Charamayn, Singapura, Jeddah.
Frishkopf, Michael (University of Alberta) “Inshâd Dîny and Aghâny Dîniyya in Twentieth Century in Egypt : A Review of Styles, Genres, and Available Recordings” dalam Bulletin, 2000. Middle East Studies Association of North America.
Hermawan, Deni. 2002. Etnomusikologi, Beberapa Permasalahan dalam Musik Sunda. STSI Press, Bandung.
Hoesin, Oemar Amin. 1975. Kultur Islam, Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Bulan Bintang, Jakarta.
Manshur, Fadlil Munawwar. ”Pengamatan langsung tentang Pembacaan Kasidah Burdah oleh Masyarakat Mesir di Kota Cairo dan Iskandariyah”, yang dilaksanakan dari tanggal 30 April 2006 1 – 10 Mei 2006.
Markoff, Irene (York University). 1995. ”Introduction to Sufi Music and Ritual in Turkey” dalam Bulletin, Middle East Studies Association of North America
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Al-Munawwir, Qâmûs Arabiyy-Indûnisiyy. Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Qardhâwy, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-Quran. Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani dari judul asli Kayfa Nata’âmalu ma’al-Qur`ânil-Adzîm. Gema Insani Pers, Jakarta.
Sâ’iy, Achmad Bassâm. 1985. Al-Wâqi’iyyatul-Islâmiyyatu fil-Adabi wan-Naqdi. Dârul-Manârah, Jeddah.
ash-Shiddieqy, Hasbi. 1982. Pedoman Shalat. Bulan Bintang, Jakarta.
Syafi'i, Abdurrosyid. "Perkembangan Ini Sangat Menggembirakan" dalam Jawa Pos, 2 Januari 1998.
Syaltût, Muchammad. 1966. Al-Islâmu, Aqîdatun wa Syarî’atun. Ath-Thab’atuts-Tsâlitsah. Dârul-Qalam, al-Qâhirah.
Syauqy, Achmad. b.s. As-Syauqiyyât, as-Siyâsatu wat-Târîkhu wal-Ijtimâ’u. Al-Juz’ul-Awwal. Dârul-Kitâbil-‘Araby, Bayrût.
ath-Thanthâwy, Âly. 1992. Fikrun wa Mabâchitsun. Dârul-Manâbirah, Jeddah.

B. Acuan yang Bersumber dari Internet
Najib, Emha Ainun. 2005 dalam www.padhang-bulan.com/modules
Qardhâwy, 1977 dalam media.isnet.org/islam.
www.irib.ir/worldservice/melayu RADIO/perspektif/januari-irama.htm.
2005.
www.alhambra-productions.com.2003.
www.saifulislam.com.2004.
content.php?q_idn_content.2005.
www.shira.net.2005
www.indo.net.id.

C. Acuan yang Bersumber dari Kaset Rekaman, CD, dan VCD
al-Minyâwy, Syaîkh Âlî. 1997. Burdatul-Madîchil-Mubârakah. Yayasan Hidayatullah, kaset I, Jeps Records, Surabaya.
__________________. 1997. Burdatul-Madîchil-Mubârakah. Yayasan Hidayatullah, kaset II, Jeps Record, Surabaya.
Ar-Raudhah Group. 2003. Burdah Madîch Imam Bûshîrî. Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura.
Shaqar, Hisâm. 2006. Burdatul-Madîch. 2 kaset. Sherouk Factory Elataba, Cairo.
Compact Disk MP3, Mazîka Ummu Kultsûm, Best of Enta Umry, Best of Al-Athlâl.
Compact Disk MP3, Ummu Kultsûm, Darit al-Ayyâm.Video Compact Disk (VCD) Kumpulan Lagu-Lagu Arab 4. Syrian Video Centre.

No comments: