Wednesday, July 25, 2007

ETIKA BELAJAR MENURUT IMAN AL-ZARNUJI

ETIKA BELAJAR MENURUT
IMAM AL-ZARNUJI
Dedi Mulyasana

Abstrak
Selama bertahun-tahun pemikiran Syekh Al-Zarnuji dijadikan sebagai salah sumber etika pergaulan di lingkungan pokok pondok pesantren. Masalahnya, di lingkungan pendidikan formal, pemikiran al-Zarnuji tersebut belum begitu dikenal. Kondisi inilah yang menjadi latar belakang penelitian ini. Dengan menggunakan metode content analysis (analisis isi) penelitian ini menghasilkan beberapa temuan pokok, yaitu: hasil penelusuran terhadap pemikiran Imam Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. (1) anjuran untuk selalu belajar. (2) kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. (3) larangan mempelajari ilmu perdukunan. (4) mengenai niat dalam menuntut ilmu. (5) sifat tawadlu. (6) cara memilih guru. (7) cara memilih jenis ilmu. (8) nasihat kepada para penuntut ilmu.

أداب التعلم عند الإمام الزرنوجي
ملخص البحث
ويشتهر الإمام الزرنوجي بمصنفاته الكثيرة ويعرفه كثير من طلبة المعهد ومن تعمق في العلوم الدينية. يبحث في جميع كتبه بحثا واضحا راسخا عميقا يصغي في الذهن من قرأها, و تعجب من استقرئها من أرائه وأفكاره, و من أشهر كتبه " كتاب تعليم المتعلم طريقة التعلم" ويكون هذا الكتاب مرجعا أساسيا في الأدب و الأخلاق. لكن كثير من طلاب المدرسة لم يعرفوه نفسه ولاسيما بمصنفاته, وهذا هو سبب قوي يحثنا لاستقراء هذا الموضوع. و ليس كل ما قدمها الشيخ يليق تبعها لأن منها شيئ لا تناسب بالحياة العصرية. ويحصل هذا الإستقراء باستخدام طريقة الاستقراء المضموني إيماء ونصائح في الأدب و الأخلاق للمتعلمين.

Kata Kunci
Etika, Akhlak, Belajar, Shabar, Ta’lîm, Muta’allimûn, Ketaatan, Tawadlu.

A. Pendahuluan
Etika merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta didik, khususnya kompetensi di bidang kepribadian Pencapaian kemampuan kognitif dan psikomotorik tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila tidak diikuti dengan kompetensi di bidang etika dan kepribadian. Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan bisa baik, bila lulusan itu memiliki etika atau akhlak yang baik, di samping memiliki pengetahuan kognitif dan keterampilan psikomotorik.
Etika seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagiamana ia berbuat atau keinginan berbuat. Etika atau akhlak yang terkait dengan keyakinan, sikap, aktivitas atau perasaan atas sesuatu akan menentukan tindakan dan perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan akhlak atau etika menempati kedudukan yang amat penting dalam pembelajaran di sekolah.
Tujuan etika adalah untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan etika atau akhlak pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan akhlak atau etika yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan keagamaan, yakni melalui penanaman etika atau akhlak yang berasal dari ajaran atau pemikiran-pemikiran keagamaan.
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu akan sangat baik apabila pendidikan etika dan akhlak bagi siswa digali dari etika atau akhlak yang bersumber dari ajaran Islam atau pemikiran para ulama Islam.
Terkait dengan etika anak didik, baik terhadap dirinya, orang tuanya, gurunya, teman-temannya, sesungguhnya dalam tradisi ilmu-ilmu Islam klasik, terdapat sebuah kitab yang patut dikaji dan diteliti.
Kitab dimaksud adalah Kitab Ta'lim al-Muta'allim, yang selama puluhan tahun dijadikan sebagai salah satu kitab yang diajarkan di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Kitab ini berisi di antaranya bagaimana etika, akhlak dan sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang siswa, pelajar, atau mereka yang sedang menuntut ilmu. Atas dasar itu, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah ingin menjawab bagaimana etika siswa menurut Imam Al-Zarnuji?
B. Landasan Teori
1. Hakikat Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-bu-ruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut per-buatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesa-daran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. (Surajiyo, 2004:355).
Dalam tradisi filsafat, istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. (Taylor, 1985:3).
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua, yakni obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes. (Hourani, 1986:25).
Menurut Sunoto (1982:45) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, contohnya seperti sejarah etika. Etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno (1987:56) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.
Norma ialah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segi tiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Leibniz seorang filsuf pada jaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan karena aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap (Hadiwijono, 1990:189). Oleh karena itu tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin manusia.
Akibat pandangan itu ialah bahwa orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak itu mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak jelas.
Menurut filosof Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa-bangsa yang bermacam-macam itu pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada zaman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan karena kemakmuran yang dialami pada zaman industri itu bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. (Hadiwijono, 1990:190)
Fudyartanta (1974:94) memberi arti kesusilaan adalah keseluruhan nilai atau norma yang mengatur atau merupakan pedoman tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk menyelenggarakan tujuan hidupnya. Tegasnya moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma atau nilai sosial yang mengatur tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk selalu melakukan atau melaksanakannya perbuatan-perbuatan atau tingkah laku yang secara obyektif dan hakiki baik.
Dari beberapa pengertian kesusilaan tersebut dapat dirumuskan bahwa kesusilaan yang berasal dari kata susila mendapat awalan ke dan akhiran an yang berarti membentuk kata benda yang abstrak. Kesusilaan adalah sifatnya dari dalam bukan dari luar, artinya kesusilaan ini dekat dengan keakuan.
2. Etika dan Akhlak
Kata etika dalam prakteknya sering disamaartikan dengan akhlak. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui kaitan antara etika dan akhlak ini. Secara terminologis, akhlak adalah sistem perilaku ini terjadi melalui satu konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. (Ahmadi dan Salimi, 1991:1999).
Kitab Al-Mu'jam al-Wâsit (Asmaran AS, 1992:2) mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
الخلق حال للنفس راسخة تصدر عنها الأعمال من خير او شر من غير حاجة الى فكر ورؤية
Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Senada dengan definisi tersebut, Imam Gazali (Asmaran AS, 1992:2) mengartikan akhlak sebagai berikut:
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر الانفعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر ورؤية
AI-Khulq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menumbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Oleh karena itu, pada hakikatnya khulq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ muncullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari'at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia (al-akhlâq al-mahmûdah) dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela (al-akhlâq al-mazmûmah). Al-khulq disebut sebagai kondisi atau sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa, karena seandainya ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk suatu hajat dan secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang demikian ini disebut orang yang dermawan sebagai pantulan dari kepribadiannya. Juga disyaratkan, suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran. Sebab seandainya ada orang yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya atau memaksa hatinya untuk berdiam di waktu timbul sesuatu yang menyebabkan kemarahan dan hal itu diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dipikir-pikir lebih dulu, maka bukanlah orang yang semacam ini disebut sebagai orang dermawan.
Di dunia pendidikan Islam juga dikenal istilah ilmu akhlak. Dengan melihat pengertian ilmu, yaitu mengenal sesuatu sesuai dengan esensinyaa, dan pengertian khulq, yaitu budi pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seperti yang tersebut di atas, maka ilmu akhlak, dilihat dari sudut etimologi, ialah upaya untuk mengenal budi pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seseorang sesuai dengan esensinya.
Kamus Al-Kautsar, mengartikan ilmu akhlak sebagai ilmu tata krama. (Asmaran AS, 1992:3) Jadi, ilmu akhlak ialah ilmu yang berusaha untuk mengenal tingkah-laku manusia kemudian memberi hukum/nilai kepada perbuatan itu bahwa ia baik atau buruk sesuai dengan norma-norma akhlak dan tata susila.
Sedangkan secara terminologi, di dalam Dâ'irat al-Ma'ârif dikatakan:
علم الاخلاق هو علم بالفضائل وكيفية اقتنائها لتتحلى النفس بها وبالرذائل وكيفية توقيها لتتخلى عنها
Ilmu akhlak ialah ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong daripadanya. (Asmaran AS, 1992:4).
Sementara itu Al-Mu'jam al-Wâsith memberikan definisi ilmu akhlak dengan :
علم الاخلاق علم موضوعه احكام قيمته تتعلق بالاعمال التى توصف بالحسن والقبح
llmu akhlak ialah ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk. (Asmaran AS, 1992:4)
Menurut Ahmad Amin ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apaapa yang harus diperbuat. (Asmaran AS, 1992:5)
Sedangkan Hamzah Ya'qub mengemukakan pengertian ilmu akhlak dengan mengatakannya sebagai berikut: "Adapun pengertian sepanjang terminologi yang dikemukaJcan oleh ulama akhlak antara lain: (a) ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin; dan (b) ilmu akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka. (Asmaran AS, 1992:5)
The Encyclopaedia of Islam merumuskan: It is the science of virtues and the way how to acquire them, of vices and the way how to quard against them (Asmaran AS, 1992:5), (ilmu akhlak ialah ilmu tentang kebaikan dan cara mengikutinya, tentang kejahatan dan cara untuk menghindarinya).
Dari pengertian di atas kiranya dapat dirumuskan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk (alam) sekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral.
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika merupakan bagian dari padanya. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, tentang kesusilaan, tentang baik dan buruk. Kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. (Asmaran AS, 1992:6) Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi (baik dan buruk). (Asmaran AS, 1992:6)
Ada beberapa istilah etika secara terminologi. New Masters Pictorial Encyclopaedia mendefinisikan etika sebagai berikut: Ethics is the science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with the character of but the ideal of human conduct. (Asmaran AS, 1992:7). (Etika ialah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya).
Dictionary of Education mengartikan etika sebagai the study of human behavior not only to find the truth of things as they are but also to enquire into the worth or goodness of human actions. (Asmaran AS, 1992:6). (Etika ialah studi tentang tingkah-laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku manusia).
Dalam kamus yang sama juga dikatakan: The science of human conduct, concerned with judgment of obligation (rightness or wrongness oughtness) and judgment of value (goodness and badness). (Asmaran AS, 1992:7) (Ilmu tentang tingkah-laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban (kebenaran atau kesalahan kepatutan) dan ketentuan tentang nilai (kebaikan dan keburukan).
Dari berbagai definisi tentang etika dapat diklasifikasikan 3 jenis definisi: (a) yang menekankan pada aspek historis; (b) yang menekankan secara deskriptif; dan (c) yang menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif dan bercorak kefilsafatan.
Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. Jenis yang kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif, yang hanya memberikan nilai i~aik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Atas dasar jenis definisi yang terakhir ini etika digolongkan sebagai pembicaraan yang bersifat informatif, direktif dan reflektif.
Penilaian bukan moral memainkan peranan terbesar dalam hidup sehari-hari; dan terus-menerus mengarahkan tindakan seseorang kepada yang dinilai baik, menyenangkan, berguna, adil, menarik, dan sebagainya. Nilai-nilai itu diselidiki oleh filsafat nilai atau aksiologi. Tetapi dalam etika, penilaian bukan moral hanya perlu diperhatikan sejauh ada kewajiban untuk melaksanakannya. Begitu pula pembahasan penilaian moral mengandaikan analisa pernyataan kewajiban terlebih dulu. Nilai moral direalisasikan dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan kewajiban. Orang dinilai sebagai jujur, misalnya, karena tidak melakukan korupsi. Tentu saja penilaian itu hanya masuk akal, karena telah diandaikan bahwa korupsi itu sesuatu yang tidak boleh. Macam dan dalamnya nilai moral—apakah itu kesetiaan, kebesaran hati, kesucian, apakah orang itu sangat setia, atau sekali ini setia—tergantung baik dari kekhususan kewajiban moral maupun dari kekhususan situasi saat kewajiban itu dilakukan. Memberi makan kepada anak kecil dan menyelamatkannya dari rumah yang sedang dimakan api, sama-sama berarti melakukan kewajiban, tetapi nilai moral tindakan yang satunya lebih tinggi.
Inti etika adalah analisa pernyataan kewajiban. Penilaian bukan moral disinggung sejauh diperlukan dalam rangka pembicaraan pernyataan kewajiban. Dari bidang nilai-nilai moral dibicarakan kebebasan dan tanggung jawab.
Sebagai cabang dari filsafat, etika mempelajari tingkah-laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk menentukan nilai itu adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, dengan akallah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskannya buruk.
Oleh karena itu, Hamzah Ya'qub menyimpulkan merumuskan: "Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran".(Asmaran AS, 1992:7)
Meskipun pemakaian istilah etika sering disamakan dengan pengertian ilmu akhlak, namun apabila diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan di samping juga ada persamaannya. Persamaannya antara lain terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik-buruk tingkah laku manusia. Sedang perbedaannya, etika menentukan buruk-baik perbuatan manusia dengan tolok ukur akal pikiran. Sedangkan ilmu akhlak menentukannya dengan tolok ukur ajaran agama (al-Qur'an dan al-Hadits).
Dalam kajian keilmuan, kata akhlak memiliki padanan makna dengan etika. Menurut Ahmad Amin, (1993:3), etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
Menurut Achmad Charris Zubair (1990:13) etika adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti watak kesusilaan atau adat istiadat. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik-buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika (Haricahyono,1995:221-222).
Dalam kaitannya dengan norma sekolah, sekolah mempunyai dua fungsi utama (Darmodiharjo, 1981:19) yakni fungsi psikologis dan fungsi sosial. Dengan demikian, maka sekolah memiliki fungsi membimbing perkembangan kondisi psikologis dan membantu mempersiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat bagi kehidupan masyarakat mendatang.
Dengan demikian, sekolah mempunyai peluang besar dalam mempengaruhi perkembangan anak. Sekolah juga merupakan organisasi yang memiliki beberapa tujuan dalam mempersiapkan manusia, dalam arti sebagai tujuan untuk mengembangkan kualitas pribadi, termasuk penanaman nilai-nilai dan norma-norma, dan berorientasi pada norma-norma tertentu (Soelaeman, 1994 :86).
C. Metode Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data tertulis. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah kitab Ta'lim al-Muta'allim. Kitab ini merupakan sumber utama (sumber primer), sedangkan sumber sekunder dilengkapi dengan buku-buku lain yang membahas etika. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu suatu metode yang digunakan untuk memperoleh keterangan dari suatu isi komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang atau bahasa (Rakhmat, 2004:89). Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan atau dokumentasi.
D. Hasil Penelitian
Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Ta’lim al-Muta’allim Thariqat al-Ta'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, kitab tersebut cenderung memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada semangat dan pesan moral di dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya.
Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu menjadi sebuah rujukan dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. Ia memenuhi segala kriteria yang diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok pesantren.
Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim al-Muta’allim dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, yaitu sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.
Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Muta’alim karya Imam al-Ghazali (w. 505 H.).
Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh Hijriah dengan Al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren: 1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; 4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.
Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis.
Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.
Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu kemudian mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan dengan pengaruh budaya lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah mengemukakan kritiknya terhadap Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai Amudarya/Transoxinia) adalah daerah pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad. Budaya Transoxiana (tempat di mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim.
Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke dalam wilayah dengan basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian banyak dipandang secara apriori, ditolak dan disudutkan.
Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap berbagai point dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-metodologis, dan ekspresi pribadi.
Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses pendidikan manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan bermoral.
Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka patut dipandang secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai teknis maka mesti berubah sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta kondisi-kondisi yang lain.
Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi pendidikannya dalam bentuk pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-kisah itu telah banyak dipahami sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang pelajar maupun pengajar.
Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam bingkai teladan-moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah pengalaman dan ekspresi personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk ekspresinya tidak harus sama persis dengan yang ada dalam cerita itu.
Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. Hanya diperlukan sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku dan point apa yang mesti diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban ketika pendidikan kita sudah tak memiliki basis moral yang mapan.
Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam apresiasi. Karya al-Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-suara miring. Taqiy al-Din bin Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.
Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: konsistensinya dalam memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan perhatiannya yang cukup besar terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama (adab) dalam segala prosesnya.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan moral dalam proses pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi juga ruh. Menurut Zamaksyari Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier, 1995:201).
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-Muta’allim pada sisi kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia juga menemukan pengaruh Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan pengembangan pendidikan Islam modern.
Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang membangkitkan semangat kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, 1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: “Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak sesuai ajaran Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk mendorong masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.
Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang dinilai secara tidak adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka tumpahnya kepada Ta’lim al-Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan proporsional.
Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah mengemukakan metode pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".
Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, mudzakarah dan mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal itu sudah lama dilakukan oleh para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, terjadi perdebatan seru antara mereka, tapi disertai dengan rasa saling hormat.
Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya mengindikasikan bahwa karya monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat kuat. Tapi, pada sudut pandang yang berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak sumbangan positif terhadap proses pendidikan pesantren, sekaligus eksesnya.
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimuculkan untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan guru. Dan, kematian dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar.
1. Anjuran untuk selalu belajar
Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Syairnya adalah sebagai berikut:
تعلم فان العلم زين لاهــله – وفضل وعنوان لكل المــــحامد
وكن مستفيدا كل يوم زيـادة – من العلم واسبح فى بحور الفــوائد
تفقه فان الفقه افضل قــائد – الى البــر والتقوى واعدل قــائد
هو العلم الهادى الى سنن الهدى – هو الحصن ينجى من جميع الشدائـد
فان فــقيها واحدا متـورعا – اشد على الشيـطان مـن الف عابد
"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa,
Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.
Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-7)
Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.
2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.
Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:
وكذلك فى سائر الاخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والاسراف والتقتير وغيرها
"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."
3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan
Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).
Ia mengatakan:
وعلم النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرام لانه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره غير ممكن
"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu
Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar.
Ia mengatakan:
لابد له من النية فى زمان تعلم العلم. اذا النية هي الاصل فى جميع الاحوال
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu:
a. Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;
b. Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;
c. Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahy munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. (Al-Zarnuji, 1995:12-14).
5. Sifat tawadlu
Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:
ان التواضـع من خصـال المتـقى – وبه التــقى الى المعالى يرتقى
ومن االعجائب عجب من هو جاهل – فى حاله اهو السعيد ام الشقى
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka." (Al-Zarnuji, 1995:16).
6. Cara memilih guru
Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:
واما اختيار الاستاذ فينبغى ان يختار الاعلم والاورع والاسن
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua". (Al-Zarnuji, 1995:18-19).
7. Cara memilih jenis ilmu
Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu.
Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji, 1995:18).
Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para ulama Salaf.
8. Nasihat kepada para pelajar
Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang lain.
Ia mengatakan:
وطلب العلم من اعلى الامور واصعبها فكان المشاورة فيه اهم واوجب
"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". (Al-Zarnuji, 1995:21).

b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:
واعلم ان الصبر والثبات اصل كبير فى جميع الامور
"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan" (Al-Zarnuji, 1995:22).
Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:
الالاتـنال العـلم الا بسـتة – سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة – وارشاد استاذ وطول الزمان
"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, 1995:23).
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:
الشجاعة صبر ساعة
"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-Zarnuji, 1995:22).
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia mengatakan:
وينبغى ان يصبر عما تريد نفسه
"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-Zarnuji, 1995:23).
e. Anjuran berteman dengan orang baik
Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد والفتان
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu.
Ia berkata:
اعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولا ينتفع به الا بتعظيم العلم واهله وتعظيم الاستاذ وتوقيره
"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru". (Al-Zarnuji, 1995:25-26).
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-Zarnuji, 1995:27).
Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam berdiskusi.
Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-Zarnuji, 1995:30).
g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-himmah), Al-Zarnuji mengatakan:
ثم لابد من الجد والمواظبة واالهمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع الباب ولج ولجز
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).
h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan:
وينبغى ان يجتهد فى الفهم من الاستاذ
"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya" (Al-Zarnuji, 1995:54-55).
i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa
Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:
وينبغى ان يجتهد ويدعو الله تعالى
"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah". (Al-Zarnuji, 1995:55).
j. Anjuran untuk berdiskusi
Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:
ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة. وينبغى ان يكون بالانصاف والتأن ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).
k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur
Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia berkata:
ينبغى لطالب العلم ان يستغل بالشكر من اللسان والجنان والاركان والمال
"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).

l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa
Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.
وينبغى ان يكون لطالب العلم فترة وتحير فانها آفة
"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk". (Al-Zarnuji, 1995:69).
m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal
Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.
لابد لطالب العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لامر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, 1995:71).
n. Anjuran untuk saling mengasihi
Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia berkata:
وينبغى ان يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad". (Al-Zarnuji, 1995:77).
o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk
Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Dalam kitabnya, ia mengatakan:
واياك وان تظن بالمؤمن سوءا فانه منشأ العداوة ولا يحل ذلك
"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).


p. Anjuran bersikap wara'
Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ini maka:
فمهما كان طالب العلم اورع كان علمه انفع والتعلمه له ايسروفوائده اكثر
"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).
q. Anjuran memperbanyak shalat
Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat.
وينبغى ان يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فان ذلك عون له على التحصيل والتعلم
"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji, 1995:90-91).
E. Kesimpulan
1. Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua, kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan. Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, cara memilih guru. Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada para penuntut ilmu.
2. Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, tabah dan tekun; (3) anjuran untuk bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang baik; (6) anjuran menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8) anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil berdoa; (10) anjuran untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; (12) anjuran untuk tidak mudah putus asa; (13) anjuran untuk senantiasa tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran untuk tidak berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak semuanya dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman sekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan berbicara banyak dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik dalam rangka mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan dan lain sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang dikemukakan oleh Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya, anjuran mam Al-Zarnuji agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah, memelihara sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. 1991. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Zarnuji, Syekh, 1985. Terjemah Ta'lim al-Muta'allim. Mutiara ilmu, Surabaya.
Amin, Ahmad. 1993. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.
Asmaran, AS. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bruinessen, Martin Van, 1996. Kitab Kuning dan Perkembangan Thariqat di Indonesia. Mizan, Bandung
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Buku IA Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka, Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari, 1995. Tradisi Pesantren: Studi atas Perilaku Kiai. LP3ES, Jakarta.
Fudyartanta, 1974, Etika. Yogyakarta: Warawidyani Cetakan Keempat
Ghazali, Said, 2000. Kontekstuaalisasi Kitab Ta'lim al-Muta'allim. Makalah Serminar, tidak diterbitkan.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, Cetakan keenam.
Haricahyono. 1995. Etika Pergaulan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hourani, George F. 1986, Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Husain, Muhammad, 2001. Kitab Kuning: Sejarah dan Pertumbuhannya. LkiS, Yogyakarta
Moleong, Lexy.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalauddin, 2004.Metode Penelitian Komunikasi, Rosda Karya, Bandung.
Soelaeman. 1994. Pengembangan Etika di Lingkungan Lembaga Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunoto, 1982. Bunga Rampai Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
Surajiyo, 2004. Perspektif Filsafat Ilmu tentang Etika Profesi. Ciamis: Jurnal Ilmiah Tajdid.
Suseno, Frans Magnis, 1987. Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.
Taylor, Paul W., 1985. Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson Publishing Compant Inc..,Zubair, Achmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta:CV. Rajawali.

3 comments:

Unknown said...

Terimakasih dan jazakumullah khairan atas makalah yang menarik ini.
kebetulan saya sedang mencari-cari informasi tentang siapakah AL-ZARNUJI ini? bisa nggak sampeyan membantu menghadirkan informasi tentang siapa beliau, alias biografinya lah.
maaf satu lagi permintaan:
dalam MULAKHKHASH AL-BAHTS disebutkan:
ويشتهر الإمام الزرنوجي بمصنفاته الكثيرة
Kalau boleh tahu, apa saja MUSHANNAFAT AL-ZARNUJI ini
sekali lagi, sebab saya sedang mengumpulkan bahan-bahan tentang beliau
Jazakumullah khairan atas segala bantuannya

Muhammad Novyar Nafis said...

Makasih dah di ingetin Lagi,memang buku yg satu ini menjadi salah satu buku bacaan Faforitku.

Unknown said...

Jazakalloh akhsanal jaza',,,,, sangat menarik