Wednesday, July 25, 2007

NEGARA RELIGIUS: KONSEP WILÂYAT ‎AL-FAQÎH IMAM KHOMEINI DALAM ‎SISTEM KENEGARAAN IRAN

NEGARA RELIGIUS: KONSEP WILÂYAT AL-FAQÎH IMAM KHOMEINI DALAM SISTEM KENEGARAAN IRAN
Hasan Bisri


Abstrak

Pembahasan hubungan agama dan negara yang kadang diidentikan dengan politik tampaknya tidak akan pernah berakhir dalam sejarah kehidupan peradaban manusia. Secara garis besar, perbincangan tentang hubungan agama dan negara telah melahirkan blok-blok dalam kalangan peneliti. Pertama blok kontra yang terang-terangan menolak adanya hubungan antara agama dan negara; kedua blok pro yang dengan tegas menyebutkan bahwa agama dan negara memiliki keterkaitan yang sangat erat, bahkan antara keduanya tidak dapat dipisahkan; dan ketiga blok tengah yang mencoba mencari titik temu di antara kedua blok di atas. Dalam kajian berikut ini akan menelusuri bentuk hubungan antara agama dan negara yang religius sebagai rekonsiliasi antara otoritas keagamaan dan otoritas kerakyatan melalui implementasi konsep wilâyah al-faqîh, yang merupakan inovasi Imam Khomeini dalam konstitusi Republik Islam Iran; dan model demokrasi yang direalisasikan dalam membangun dan menyelenggarakan pemerintahan.


منهج "ولاية الفقيه" للامام الخوميني في إدارة دولة إيران

ملخص البحث
ولاينتهي البحث في العلاقة بين الدين والدولة حتي نهاية ثقافة الإنسان. وبها أفكار و أراء و مذاهب و فرق خرجت تأثر وجه نظر المسلمين في العالم. و ينحصر هذا النظر على ثلاثة مذاهب منها المذهب الأول: الذي يرفض وجود العلاقة بين الدين والدولة, و المذهب الثاني: الذي يري أن هناك علاقة بين الدين والدولة. المذهب الثالث: الذي يوفق بين المذهبين السابقين و هو مذهب معتدل. ويقدم هذا البحث الاستقراء المشكلي و المنهجي في العلاقة بين الدين والدولة توفيقا بين الدين و الحياة الاجتماعية بتنفيذ منهج "ولاية الفقيه" اصطلحه الامام الخوميني في إدارة دولة إيران و لون الديمقراطية في تنفيذ الدولة.
Kata Kunci
Nubuwwah, Ghâib Shugrâ dan Kubrâ, Imâmah, Syahadah/Martydom, Wilâyah al-Faqîh, Marja’ Taqlîd, Ishmah, Majlis al-Syarâ, Sulthân al-Tanfidziyyah, Demokrasi


A. Pendahuluan
Hubungan antara Islam dan negara sudah sejak lama menjadi pusat persoalan pelik di dunia Islam. Sejak runtuhnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke duapuluh, negara-negara Islam seperti Turki, Mesir. Sudan, Maroko, Pakistan atau Aljazair mengalami kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memungkinkan (viable) antara Islam dan negara. Di negara-negara itu, hubungan politik antara Islam dan negara ditandai dengan adanya ketegangan-ketegangan tajam, kalau bukan permusuhan. Melihat posisi penting Islam di wilayah-wilayah tersebut, yaitu sebagai agama mayoritas penduduk, ternyata dalam realitasnya betul-betul sangat mengherankan. Pada gilirannya, hal ini mendorong para pengamat politik Islam untuk mengajukan pertanyaan apakah sebenarnya Islam sesuai atau tidak sesuai dengan sistem politik modern, dimana ide tentang negara bangsa (nation-state) merupakan salah satu unsur utamanya.[1]
Usaha untuk memahami masalah politik dalam Islam bukan perkara sederhana. Hal ini menurut Nurcholish Madjid, karena ada dua alsaan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari 14 abad sehingga akan merupakan suatu kenaifan jika dianggap bahwa selama kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stasioner dan berhenti. Sementara hanya sedikit sekali di kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti, dalam sejarah Islam juga terdapat perbendaharaan teoritis yang amat luas tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa sejarah.[2] Karena itu dapat dipahami mengapa sampai kini belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep hubungan antara negara dan Islam dalam format negara Islam. Fakta-fakta historis menunjukkan adanya aneka ragam bentuk pemerintahan dalam dunia Islam pada masa silam. Sekalipun tahap masa Khulafâ’ al-Râsyidîn dipandang pihak Muslim sunni sebagai suri teladan ideal sepanjang sejarah Islam, yang di dalamnya agama dan kekuasaan bersatu dalam pemerintahan berdasarkan hukum Islam. Akan tetapi, realitas sepanjang pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M) dan Bani ‘Abbâs (750-1258 M) amat berbeda dengan tahap masa normatif itu. Realitas sepanjang sejarah Islam itu berbentuk fragmentasi de facto dalam imperium Islam sejak 850 M, begitu pun watak dan kepentingan yang tidak bercirikan Islam dari para penguasa Islam, sudah tidak memperlihatkan eksistensi negara Islam ideal.[3]
Tidak adanya satu konsep negara Islam yang disepakati sepanjang sejarah membawa kepada timbulnya berbagai interpretasi tentang apa yang disebut dengan negara Islam itu. Ketidaksepakatan itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: pertama negara Islam yang didirikan Nabi di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci tentang sistem ketatanegaraan; kedua pelaksanaan khilafah masa Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas hanya memberikan satu kerangka mengenai lembaga-lembaga politik dan perpajakan; ketiga pembahasan mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian; dan keempat hubungan agama dengan negara dari masa ke masa menjadi subjek bagi keragaman interpretasi.[4] Dalam kaitan hubungan negara dan Islam ini, Munawir Syadzali membagi pemikiran umat Islam ke dalam tiga aliran. Pertama aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap di dalamnya memuat segala mcam aturan yang dibutuhkan manusia termasuk aturan ketatanegaraan atau politik. Sistem ketatanegaraan ideal yang harus diteladani umat Islam adalah sistem Khulafâ’ al-Râsyidîn. Tokoh utama aliran ini adalah Hasan al-Bannâ, Sayyid Quthb, dan al-Mawdûdi. Kedua aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama semata dalam arti hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhannya, sehingga urusan dunia termasuk sistem ketatanegaraan merupakan hak ororitas manusia, tanpa keterlibatan Islam. Tokoh-tokoh terkemuka aliran ini adalah ‘Ali ‘Abd al-Râziq dan Thaha Husayn. Dan Ketiga aliran yang mengambil jalan tengah dari kedua aliran sebelumnya. Aliran ini menolak bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan, dan juga menolak Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang hanya mengatur hubungan manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Dianatara tokoh aliran ini yang cukup menonjol adalah Muhammad Husayn Haykâl.[5]
Ragam pemikiran hubungan negara dan Islam tersebut terus berkembang dan menjadi diskursus di kalangan para pemimpin dan intelektual Islam sehingga mempengaruhi model sistem politik yang di bangun di negaranya masing-masing. Pengalaman masyarakat muslim di berbagai penjuru dunia, khususnya sejak usai perang dunia II mengesankan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam (dîn) dan negara (dawlah), atau bahkan politik pada umumnya. Bebagai “eksperiman” dilakukan untuk menyelaraskan antara dîn dengan konsep dan kultur politik masyarakat Muslim; dan eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi “Islam” ke dalam negara dan politik juga berbeda-beda. Perdebatan panjang sering terjadi: negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang betul-betul merupakan prototype dari apa yang disebut “negara Islam”. Keragaman bentuk kenegaraan dan pengalaman politik “negara-negara Islam” dewasa ini selain bersumber dari perkembangan pemikiran dan perbedaan pendapat di kalangan para pemikir politik Muslim tentang hubungan antara Islam (dîn) dan negara (dawlah) dalam masa modern, juga harus diakui banyak dipengaruhi tingkat kedalaman pengaruh Barat atas wilayah Muslim tertentu.[6] Kemudian, sekitar pertengahan abad ke-19, negara-negara di dunia Muslim mendapat kontak atau bersentuhan dengan industri, komunikasi, dan gagasan-gagasan politik yang berasal dari Barat, terutama negara-negara Eropa. Kontak dunia Muslim dengan Barat itu melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang dilontarkan oleh sebagian pemikir Muslim yang mempelajari Dunia Barat, khususnya tentang lembaga dan sistem politik seperti demokrasi.
Dalam kaitan dengan demokrasi ini, muncul pertanyaan mungkinkah negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam membangun institusi politik yang sering diberi label demokrasi ? sebagian kalangan pengamat Barat yang kurang simpatik pesimis bahwa demokrasi akan tumbuh di bumi Muslim. Mereka mengajukan alasan bahwa ajaran Islam tidak memperlihatkan adanya prinsip-prinsip dasar demokrasi. Praktek politik di sebagian negara Muslim pun membuktikan asumsi di atas. Dewasa ini, tak ada satu pun negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam merupakan negara demokrasi; sebaliknya mayoritas negara-negara Arab, yang sering dijadikan sebagai contoh peradaban Islam, cenderung mempertahankan sistem politik yang otoriter, represif, anti hak-hak individu, plus anti hak-hak perempuan.[7] Isu yang lebih populer untuk memperkuat argumen bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi adalah tidak adanya pemisahan antara negara (state) dan agama (church). Sekulerisme yang dimengerti sebagai proses dipisahnya urusan negara dan agama sering menjadi kebanggaan utama para filosof Barat. Dengan logika ini, Islam tidak layak untuk dipertimbangkan sebagai calon demokrasi karena menentang pemisahan negara dan agama. Pandangan determinstik ini diikuti oleh banyak pengamat politik Barat.
Sementara itu, Iran selama dua puluh tahun terakhir ini, dicap Barat sebagai negara teo-krasi yang dikendalikan oleh oligarki ulama dan penyokong terorisme, bahkan akhir-akhir ini Iran dituduh oleh negara-negara Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Inggris, mengembangkan program teknologi nuklir untuk tujuan-tujuan militer. Kendati demikian, Iran dalam sepuluh tahun terakhir ini, ternyata memperlihatkan perubahan-perubahan yang menakjubkan dalam eksperimen sistem politik demokrasi dengan mendasarkan kepada garis-garis besar ideologi Republik Islam Iran, wilâyat al-faqîh. Pengalaman ini memperlihatkan dengan jelas bahwa ulama, intelektual, pemuda dan wanita merupakan sektor-sektor masyarakat yang menentukan perubahan politik di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, madzhab Syi’ah. Bahkan lebih khusus, dan lebih dapat digariskan di sini, bahwa ulama dengan segala kelebihan dan keterbatasannya ternyata mampu berpolitik, bahkan terlibat langsung dalam pengembangan institusi politik demokratis. Pengalaman Iran barangkali merupakan angin segar yang bakal menghapus dikotomi negara dan agama yang selama ini merugikan, bahkan dipandang sebelah mata oleh segelintir pengamat politik.[8]
Dengan keberanian dan inovasi Imam Khomeini yang merealisasikan konsep wilâyat al-faqîh dalam sistem kenegaraan sebagai upaya ijtihadnya, menarik untuk dikaji secara lebih intens. Hal ini mengingat teori wilâyat al-faqîh sekarang telah menjadi isu teoritis terpenting dalam ranah pemikiran politik Islam kontemporer, karena dalam teori ini sistem politik mengacu kepada kedaulatan Tuhan, tetapi dalam mekanisme pemilihan pimpinan institusi politik, seperti Presiden dan anggota Parlemen menggunkan sistem demokrasi, sebagaimana yang dilakukan di negara-negara yang berbasis sekuleristik.
B. Konstruksi Pemikiran Politik Âyatullâh Khomeini
Politik secara etimologis berarti sesuatu yang berkenaan dengan urusan pemerintahan, negara dan kemasyarakatan. Dari segi istilah, politik adalah seni memerintah atau tata pemerintahan tentang memperoleh kekuasaan, dan pembagian kekuasaan. Politik menekankan nilai-nilai, pelajaran tentang cara-cara yang paling dapat memadukan kebebasan dan otoritas, serta memahami dengan apa kedaulatan orang yang bebas bisa dibentuk hingga dapat berhubungan dengan bentuk-bentuk kerjasama yang paling subur dan tinggi nilainya. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk menimbulkan hasil-hasil dan menunjukkan pemilikan atas pengawasan dan perintah terhadap orang dan benda.[9] Imam Khomeini memandang bahwa pemerintahan Islam memegang teguh konstitusi dan demokrasi, namun dalam demokrasinya, hukum tidak dibuat oleh keinginan manusia, tapi harus sesuai dengan Alqur’an dan hadis. Segala macam konstitusi dan produk hukum harus merupakan inspirasi dari hukum Islam, yang terdapat dalam Alqur’an dan disampaikan oleh Nabi. Pemerintahan Islam adalah pemerintah yang memiliki kekuasaan dari Allah, yaitu suatu bentuk dan sistem pemerintahan hukum Allah atas manusia. Badan legislatif pemerintahan Islam adalah majelis perancang keagamaan, karena wakil-wakil rakyat yang ada di dalamnya tidak berhak membuat hukum, tetapi hanya mengolah hukum-hukum dari Alqur’an dan hadis Rasul, yang kemudian dijadikan haluan umum yang berlaku di seluruh negeri. Badan ini menetapkan program setiap departemen menurut hukum agama. Pemerintahan Islam adalah realisasi dari hukum Islam, yang bukan berasal dari manusia, rakyat atau wakil-wakilnya, tetapi langsung turun dari Allah, sehingga harus sesuai dengan tujuan dan kehendak Yang Maha Kuasa. Hukum Alqur’an dan aturan-aturannya adalah sumber segala aspek pemerintahan Islam, karena hukum-hukum yang terdapat dalam Alqur’an, kekal sepanjang zaman dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan.[10]
Pemikiran Imam Khomeini tentang politik secara global dapat diketahui dalam tiga dasar yang menjadi ideologi madzhab Syi’ah. Pertama kepemimpinan (imâmah).[11] Dalam pemikiran Syi’ah, otoritas dan kedaulatan hanyalah hak prerogatif Allah. Baru kemudian, Allah mendelegasikan hak-Nya tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah berakhirnya nubuwwah, hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amr yang menurut eksaktologi Syi’ah adalah para Imam yang berjumlah dua belas, dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah. Imam mendapatkan haknya sebagai penerus Nabi SAW, langsung dari Allah, lewat Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak berstatus Nabi, tidak pula membawa syari’at, namun sebagai penjelas syari’at Nabi. Oleh karena itu, imam bukan hanya penguasa temporal, melainkan juga spiritual.[12] Dalam tradisi Syi’ah, ada keyakinan bahwa para Imam bukan hanya memiliki pengetahuan eksoterik saja, tetapi juga pengetahuan esoterik. Selanjutnya para imam yang mendapatkan gelar wali atau nâ’ib pun memiliki pengetahuan masa lalu dan masa depan, sehingga mereka bukan hanya sebagai penguasa temporal, melainkan juga spiritual. Kapasitas luar biasa para imam ini telah menggiring al-hujjah untuk memegang otoritas masalah-masalah keagamaan sepenuhnya. Dalam hal ini, Sachedina menyimpulkan bahwa titel atau atribut al-hujjah yang disandang para imam menekankan aspek-aspek spiritual tinggi dari fungsinya, sementara al-qâ’im dan shâhib al-amr membawa perannya sebagai penguasa Islam ideal yang memiliki keadilan Islam di seluruh dunia.[13]
Setelah kegaiban panjang (ghâib kubrâ) Imam ke-12, hingga ia muncul (zhuhûr) kembali pada akhir zaman, para ulama (mujtahid) merupakan penerus rangkaian kepemimpinan umat ini. Mereka disebut wali ‘âm. Sebagaiman para Imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi Muhammad SAW., maka para ulama (mujtahid) pun memegang peran ini, bahkan dipercaya, para ulama semacam ini mendapatkan bimbingan Imam yang sedang ghaib tersebut. Hanya bedanya, jika para Imam mendapatkan kedudukannya dari Allah, sehingga mereka ma’shûm, sedangkan para ulama (mujtahid) ini mendapatkan posisinya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya, meliputi ‘adalah (keutamaan dalam hal iman dan akhlak yang menyebabkan terhindar dari dosa), faqâhah (penguasaan atas hukum Islam), dan kafa’ah (keterampilan kepemimpinan).[14] Mujtahid ini kelak dalam undang-undang Repbulik Islam Iran (RII) berkedudukan sebagai wali faqih yang dipilih oleh Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama terkemuka yang memperoleh jabatannya lewat pemilu secara demokratis. Kesinambungan kepmimpinan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, imam hingga mujtahid adalah suatu keniscayaan, karena menurut eksaktologi mereka, sifat luthf atau kasih sayang Allah tidak akan membiarkan suatu ummat tanpa bimbingan, sehingga Allah selalu mengirimkan utusan pada setiap umat manusia agar tercapai kehidupan yang sejahtera, dan penuh keadilan (QS. Al-Nahl/16: 30). Dalam kaitan ini, Imam Ja’far al-Shâdiq, mengatakan:
Menyangkal wewenang seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang imam berarti menentang wewenang Nabi Muhammad SAW. Menentang wewenang Nabi SAW, berarti menentang Allah SWT. Menentang Allah SWT sama dengan syirik. [15]
Selanjutnya, kaum syi’ah mempercayai keberadan para wali yang memiliki syarat-syarat tersebut di atas, sebagai pengganti sementara imam ke dua belas yang sedang ghaib, karena tidak mungkin Allah yang begitu besar kekuasaannya meninggalkan dunia dan para penghuninya tanpa seorang pemimpin dan pembimbing yang menegakkan keadilan.[16]
Kedua, kesyahidan (syahadah, atau martyrdom). Kesyahidan ini adalah dasar dalam upaya kematian di jalan Allah (fî sabîl lillâh) sebagaimana ditujukkan oleh Imam Husein, cucu Rasulallah SAW yang dibunuh oleh Yazid ibn Mu’awiyyah dalam peristiwa Karbala pada tanggal 10 Muharram 61 H beserta 72 pengikutnya. Imam Husein berkata bahwa kematian bagiku hanyalah kebahagiaan (inni lâ ar’a al-mawt illa al-sa’adah).[17] Dari sini lah, revolusi dimulai dengan runtuhnya tiranik. Revolusi ini menjadi prinsp dasar dalam meruntuhkan suatu pemerintahan yang tiranik, korup, represif kepada rakyat yang kritis, dan penghisap darah rakyatnya untuk bersenang-senang dan berpoya-poya di tengah-tengah kesengsaraan rakyat. Ideologi Husein dan rekonstruksi Karbala akan terus berlanjut, sebagaimana yang dikemukakan Imam Khomeini dalam surat terbukanya kepada Paus Paulus III: [18]
Aku nyatakan di sini bahwa kami tidak takut kepada serangan militer maupun boikot ekonomi, karena kami adalah syi’ah dan sebagai pengikut syi’ah, kami menyambut kesempatan untuk mengambil darah kami. Bangsa kami menanti kesempatan untuk berkorban dan mati syahid.
Bagi Khomeini dan para pengikutnya, tragedi karbala dinyatakan secara esensial sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi, bukan merupakan peristiwa yang unik yang tidak bisa ditiru.[19] Perilaku Husain yang pasif dan saleh dalam drama Karbala sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber Syi’ah ortodoks, diberi julukan mazhlûm, yang secara literal berarti ‘yang dizalimi’, tetapi dalam bahasa Persia sehari-hari, konotasinya meluas melampaui konotasi-konotasi yang dikaitkan dengan ketidakadilan.
Ketiga pembelaan terhadap kaum tertindas atau lemah (mustad’afîn) dari penindasan kaum tiranik (mustakbirîn). Sikap pembelaan ini dalam kerangka untuk mewujudkan suatu negara atau pemerintahan yang berkeadilan bagi semua umat manusia, khususnya umat Islam. Imam Khomeini menyatakan, hendaknya umat Islam menjadi musuh kaum penindas dan membela kaum tertindas, sebagaimana yang diteladankan oleh para utusan Allah yang melakukan perlawanan terhadap para penguasa tiranik dan membela kaum yang lemah dan tertindas.[20] Bagi rakyat Iran, Khomeini dipandang sebagai bot-shekan (penghancur berhala) seperti yang ditunjukkan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu pesannya yang ditunjukkan kepada umat Islam Iran yang hendak menunaikan ibadah haji, Khomeini menyatakan: [21]
Nabi Ibrahim AS, sang bapak tauhid dan penghancur berhala telah mengajarkan bahwa pengorbanan demi Allah SWT selain mengandung aspek tauhid dan keagamaan, juga mengandung dimensi politik dan nilai-nilai sosial. Dalam surat al-Tawbah, ayat 3 dinyatakan, pada hari haji akbar. “Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Dalam pandangan Khomeini, politik diartikan sebagai usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum tanpa ada pretensi kepentingan individual yang berdasar pada perdamaian dan anti kekerasan yang bersumber pada nilai-nilai Islam. Politik inilah yang dikatakan Khomeini sebagai politik Islam yang tidak menekankan pada kepentingan temporal dan kekuasaan klise. Dimensi politik Islam ini tentu sangat terkait dengan nilai-nilai Islam yang dianut Khomeini, karena antara Islam dan negara merupakan suatu kesatuan yang dipenuhi dengan nilai ilahiyah.
C. Konsep Wilâyah al-Faqîh Dalam Pemikiran Khomeini
Dalam bahasa Arab, kata ‘wilâyah’ berakar kata ‘wali’ yang menurut istilah kalangan leksikograf Arab terkemuka merupkan unit terkecil dalam bahasa yang mengandung makna tunggal; kedekatan, daya tarik, hubungan dekat, persamaan dan pertalian.[22] Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk kata ‘wali’, yaitu teman, setia atau berbakti, pendukung. Di samping tiga arti ini, dua arti lain disebutkan untuk kata ‘wilâyah’ yaitu kekuasaan tertinggi, dan kepemimpinan serta pemerintahan.[23] Dalam bahasa Persia, kata ‘wali’ memiliki sejumlah arti, antara lain: teman, pendukung, pemilik, pelindung, pembantu dan penjaga. Begitu pula kata ‘wilayah’ bermakna mengatur dan memerintah. Kemudian kata ‘wilâyah’ dalam ‘wilayah al-faqîh’ berarti pemerintahan dan administrasi atau pengelolaan.[24] Sebagian ulama meletakkan makna ini untuk mendapatkan pengertian ‘pengendalian atau kontrol, penguasaan, jabatan, hakim dan kekuasaan tertinggi yang menunjukkan otoritas ‘wali’ (pembawa wilayah) atas mawlâ ‘alayh (orang yang bergantung pada atau menjadi objek wilayah). Akan tetapi, ‘wilâyah’ yang bermakna pengawasan dan melaksanakan urusan-urusan mawlâ ‘alayh adalah memberi pelayanan maksimum kepada mawlâ ‘alayh, bukan melakukan pembebanan atau paksaan kepadanya.[25]
Dengan meneliti sistem politik Islam dan mengidentifikasi doktrin politiknya, maka dapat ditemukan salah satu dari dasar-dasar doktrin itu yang disebut dengan ‘wilâyah faqîh’ di masa kegaiban Imam zaman. Selama masa kekosongan Imam Mahdi inilah, maka kepemimpinan diserahkan kepada seseorang pengganti yang dianggap menguasai bidang agama, hukum Islam dan harus adil dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam batas tertentu, penegasan wilayah Tuhan, kekuasaan tertinggi di dunia penciptaan, dan Undang-Undang Tuhan atau wilayah para Imam ma’shûm dari Nabi Muhammad SAW. kepada penerusnya atau imam terakhir merupakan salah satu dasar pandangan politik Islam madzhab Syi’ah. Karena itu, wilâyah al-faqîh merupakan bagian terpenting dan komponen universal dalam sistem politik Islam madzhab Syi’ah, tanpa memandang masalah pelaksanaan sistem dan variasi mekanisme politiknya.
Konsep ‘wilâyah al-faqîh’ Imam Khomeini didasarkan kepada empat prinsip pokok . Pertama, Allah SWT adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Allah adalah penguasa tunggal bagi umat Islam (mâlik al-nâs), dan Dia-lah pemilik kedaulatan yang absah. Manusia harus dipimpin dengan kepemimpinan ilahiah. Sistem hidup yang bersumber pada hal ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem hidup yang bukan bersumber pada kepemimpinan ilâhiah disebut kepemimpinan jâhiliah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan: Allah atau thagût. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyâdah al-Basyariyyah) yang mewujudkan hakimiah Allah di bumi adalah nubuwwah. Nabi tidak hanya menyampaikan al-qânûn al-ilâhi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qânûn itu. ‘Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum sanggup menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana’, begitu tulis Imam Khomeini. Para nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Hal ini tidak dapat dicapai dengan ta’lîm dan tazkiyah saja, tetapi juga diperlukan qudrah dan hukûmah, karena nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan imâmah sekaligus.[26]
Ketiga imâmah yang melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat. Setelah zaman nabi berakhir dengan wafatnya Rasulallah SAW., kepmimpinan umat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulallah dan ahl al-bayt-nya. Zaman para nabi berakhir, kemudian disusul ‘zaman para imam’. Jumlah imam ada dua belas. Imam pertama adalah ‘Ali ibn Abî Thâlib dan yang terakhir adalah Muhammad ibn al-Hasan al-Mahdi al-Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan ghaib, dan suatu saat nanti akan hadir kembali sebagai imam. Keghaiban terbagai dalam dua tingkatan. Tingkatan pertama, masa ‘kegaiban kecil’ (minor occultation atau ghâibah al-shugrâ), yaitu ketika Imam Mahdi bersembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam. Pada masa itu, kesulitan dalam hal marja’ (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa diatasi, karena posisi marja’ dijabat oleh empat wakil al-Mahdi, yaitu: Abû ‘Amr ‘Utsmân, Abû Ja’far Muhammad, Abû al-Qasim al-Husayn, dan Abû al-Hasan ‘Ali. Tingkatan kedua kegaiban besar (major occultation atau ghâibah kubrâ), yaitu masa sesudah meninggalnya keempat wakil imam sampai kedatangan lagi al-Mahdi pada akhir zaman. Pada masa ‘kegaiban besar’ atau ‘kegaiban sempurna’ inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqîh. [27]
Keempat kepemimpinan para faqih. Setelah para imam tidak ada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqîh yang memenuhi persyaratan.[28] Apabila tidak ada seorang pun memenuhi persyaratan, maka akan dibentuk ‘Majlis fuqaha”. Prinsip ini secara tegas dinyatakan dalam konstitusi Republik Islam Iran (RII), pasal 5 yang berbunyi:
“Selama ghaibnya imam zaman (semoga Allah segera menghadirkan kembali), pemerintahan dan kepemimpinan bangsa berpindah kepada faqîh yang adil dan takwa, yang mengenal keadaan-keadaan masanya, berani, pandai, dan memiliki kemampuan administratif, diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas rakyat. Bila tidak ada faqih yang diakui oleh mayoritas rakyat, pemimpin atau Dewan Kepemimpinan yang terdiri atas para faqih yang memiliki persyaratan tersebut di atas, akan mengemban tanggung jawab itu, sesuai dengan pasal 107”.[29]
Berdasarkan kutipan di atas, tampak dengan jelas bahwa para faqîh adalah pengganti imam yang diberi kepercayaan untuk memimpin umat. Dengan demikian, ‘wilâyah al-faqîh’ dapat diringkas sebagai berikut: Allah SWT adalah pencipta dan hakim mutlak yang mengatur alam semesta dan segala isinya. Allah memilih manusia sebagai khalifah dipermukaan bumi. Untuk keselamatan manusia di muka bumi, Allah memilih orang-orang yang memiliki unsur-unsur kepribadian yang murni dan luhur secara fitrah. Mereka yang berhak memimpin umat adalah para nabi, para imam, dan para fuqaha. Karena para nabi sudah berlalu, dan Imam sedang ghaib, maka sekarang umat berada pada periode kepemimpinan para faqih yang memiliki persyaratan tertentu[30]
Secara terperinci, seorang faqih, antara lain harus mencukupi syarat-syarat sebagai berikut: pertama faqahah, seorang sudah mencapai derajat mujtahid mutlaq, yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya; kedua ‘adalah; seorang yang memperlihatkan ketinggian kepribadian, berakhlak mulia, dan bersih dari watak buruk, sebagaimana yang ditunjukkan dengan sifat istiqâmah, al-shâlih dan tadayyun. Ketiga kafa’ah, seseorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin umat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.[31] Syarat-syarat tersebut hanya berkenaan dengan pemimpin yang bukan berasal dari kalangan orang-orang yang terpelihara dari dosa (ma’shûmîn), yaitu nabi dan para imam, karena untuk ma’shûmîn, syarat di atas tentu sudah tidak berlaku lagi, karena sudah melekat dengan sendirinya. Ada beberapa tingkatan yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi wilâyah al-faqîh, yaitu:
Menyelesaikan studi kajian keislaman selama empat atau lima tahun di Hauzah Islamiyyah Qom, yang lulusannya nanti akan disetarakan dengan S1 atau sarjana di Universitas umum lainnya;
Mengikuti studi lanjutan untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman secara lebih intens, kemudian sesudah lulus dari studi ini, akan mendapatkan gelar ‘Hujjah al-Islâm’ yang ditandai oleh pakaian mullah dan sorban setelah pelantikan dilakukan, sehingga mereka mendapat penghargaan keilmuan yang setara dengan magister (S-2);
Melanjutkan lagi studi ke tingkat paling tinggi dengan spesifikasi keilmuan Islam yang mendalam dan kompleks, serta mengkomparasikan dengan ilmu-ilmu lain yang relevan. Mereka dikonsentrasikan dalam tiga bidang studi yang terpilih: Alqur’an, hadis, tafsir, fikih-usul fikih dan filsafat. Di samping itu, mereka dituntut untuk melakukan penelitian, menyusun kitab, menjadi tenaga pengajar dan lama menetap di Hauzah, Qom, sehingga ilmu yang dicapai mereka menjadi mantap, kokoh dan kuat, serta membawa sinar kewibawaan pada dirinya. Kelulusan tingkat ini mendapat gelar ‘Ayâtullah al-Uzhmâ’ yang dapat diangkat menjadi ‘marja’ taqlîd, tempat rujukan dan panutan umat. Lulusan tingkatan ini disejajarkan dengan lulusan S-3 atau program doktor di universitas pada umumnya.[32]
Dengan adanya otoritas keagamaan tertinggi dalam madzhab syi’ah, maka kekuasaan ini juga harus digunakan untuk memegang kekuasaan negara tertinggi, namun ini bukan berarti ulama memerintah langsung, menangani semua badan atau lembaga negara, tetapi ulama hanya sebagai penuntun terhadap semua penyelenggaraan negara, agar tidak terjadi penyelewengan dari hukum-hukum Allah. Menurut Khomeini, sekalipun pemerintahan ini adalah pemerintahan rakyat, tetapi sumber hukum dan kedaulatan tetap berpegang pada Allah, karena itu, konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur khidupan masyarakat dan negara harus mengacu kepada hukum-hukum Alqur’an, hadis dari Nabi Muhammad SAW., dan para imam serta hasil ijtihad para faqih. Jika dikaitkan dengan ideologi madzhab syi’ah, maka dapat dikatakan bahwa para penganut madzhab syi’ah ini memiliki ketaatan yang luar biasa terhadap sang imam. Segala sesuatu yang diucapkan Imam, akan senantiasa dipatuhi oleh pengikut-pengikutnya.[33] Ketika Imam Khomeini membongkar kezaliman Syah Iran, yang dipandang telah menghancurkan tatanan dan norma-norma Islam dan berorientasi pada Barat, maka kritikan, kecaman, dan fatwa Khomeini ini dengan mudah dapat diterima masyarakat Iran. Suatu hal yang mustahil apabila figur Khoemini adalah figur yang penuh dengan cacat dan noda akan mampu menggerakan rakyat Iran untuk menumbangkan rezim Syah Iran.
Dalam syi’ah imamiyah terdapat keyakinan bahwa pemerintahan hanyalah milik imam saja, dan para imam berhak atas kepemimpinan politik dan otoritas keagamaan. Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah SWT, karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum ilahi. Maka setelah para imam tidak ada, kepemimpinan harus dipegang oleg para faqih. Menurut keyakinan syi’ah, Imam al-Mahdi masih hidup dan masih memegang kekuasaan yang sah. Ia akan muncul kembali pada waktu yang akan ditentukan oleh Allah. Karena Imam Mahdi masih hidup, maka lembaga imamah juga masih tetap hidup. Karena itu, keberadaan seorang pemimpin umat bagi kalangan syi’ah lebih penting dari pada kalangan sunni. Dari sisi inilah, konsep ‘wilâyah al-faqîh’ dalam beberapa hal merupakan kelanjutan dari doktrin imamah, karena melaksanakan fungsi-fungsi utama pemerintahan imam. Konsep ini menggambarkan unsur perwakilan rasional berdasarkan pilihan rakyat yang pandu oleh hukum-hukum Allah. Karena itu, pemerintahan faqih (wilâyah al-faqîh) harus segera disepakati dan tidak perlu dibuktikan, karena orang yang sudah tahu secara umum akidah dan syari’at Islam, tanpa ragu-ragu lagi akan menerima prinsip faqîh ini. Jika prinsip ini tidak diperhatikan oleh masyarakat muslim pada saat ini dan masih memerlukan pembuktian, maka hal ini dikarenakan alasan-alasan historis.[34]
D. Sistem Ketatanegaraan Dalam Wilâyah al-Faqîh Di Iran
Pengertian ‘Sistem’ secara terminologis berarti suatu keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang berakibat jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan itu. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, serta sebagai agency dari masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk mengatur pola berbagai hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan yang terjadi dalam realitas masyarakat. Dengan demikian, negara tidak terlepas dari pemerintahan, karena sikap dan tindak-tanduk negara hanya mungkin dapat dilihat dari sikap dan perilaku pemerintahannya. Karena itu, apabila mengkaji ilmu negara dalam pengertian yang umum-abstrak-universal, akan terkaitlah hukum tata negara dan tata pemerintahan yang menjalankan negara.[35]
Dari sudut pandang ini tersimpul, bahwa apabila suatu negara sudah berdiri, maka harus dibentuk pemerintahan, agar cita-cita dan tujuan negara itu terwujud secara riil. Pemerintah adalah alat, agen atau telengkai negara, sehingga terjalin secara berkelindan hubungan antara negara dan pemerintah. Negara sebagai suatu konsep, diwujudkan secara riil dalam pemerintahan, yang berfungsi untuk mencapai tujuan negara; yaitu mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, dan menegakkan hukum secara adil dalam masyarakat. Menurut Roger H. Soltau, tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang dan menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin, sementara menurut Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan rakyatnya dapat mencapai keinginan-keinginan secara maksimal.[36] Dalam menentukan tujuan negara, tentu saja selaras dengan hakekat negara dan filsafat yang dianut para pendiri negara, akan tetapi setiap negara, terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa fungsi universal: melaksanakan penertiban (law and order), mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, menjaga keutuhan negara, dan mengakkan keadilan. [37]
Berdasarkan gambaran sepintas tentang pengertian negara tersebut di atas, maka kajian berikut ini akan menyorot konsep ‘wilâyah al-faqîh’ tentang negara Islam yang menjadi ide dan gagasan Imam Khomeini di Iran. Menurut Imam Khomeini, undang-undang memerlukan lembaga eksekutif (al-sulthân al-tanfidziyyah atau executive power), supaya memberikan kebaikan kepada manusia. Karena itu, lembaga eksekutif menjadi wajib hukumnya, yang merupakan bagian utama dari akidah imamiah. Selanjutnya menurut Khoemini, dalam mempertahankan Islam, harus ada majelis atau lembaga legislatif yang merancang atau membuat undang-undang tentang berbagai sektor kehidupan yang bersumber dari Alqur’an dan hadis, sehingga hukum Islam memiliki kekuasaan mutlak yang mengikat kepada semua individu dan pemerintahan Islam. Ketaatan kepada Nabi dan Wali al-Amr berdasarkan kepada Allah, karena itu dalam pemerintahan Islam tidak ditemukan undang-undang yang hanya berasal dari rasio semata.[38] Konsep ‘wilâyah al-faqîh’ ini termasuk unsur penting yang membedakan konsep pemerintahan Islam Imam Khomeini dengan sistem pemerintahan lainnya. Konsep tersebut merupakan sistem pengawasan pemerintahan agar metode dan fungsinya tetap sesuai dengan ajaran Islam. Hubungan antara faqîh yang bertindak sebagai pemimpin dengan rakyat melahirkan sistem hubungan ‘pemimpin dan rakyat’. Dengan kata lain, faqîh yang menjadi pemimpin itu merupakan penjamin agar rakyat selalu berada dalam naungan keadilan Islam.[39] Sistem pemerintahan ‘wilayah al-faqîh’ ini diterapkan di Iran segera sesudah tergulingnya kekuasaan Syah Iran yang otoriter dan represif, sehingga bentuk negara berubah dari monarki-absolut menjadi Republik dengan referensi khitab-khitab Allah dan Rasul-Nya, melalui sebuah referendum yang disetujui oleh mayoritas (98 %) rakyat Iran pada tahun 1979.
Sistem ketatanegaraan Iran tidak mengenal pemisahan secara ekstrim antara institusi-institusi negara, tetapi memiliki hubungan koordinatif, aspiratif dan instruktif, sehingga dalam menggerakan roda pemerintahan dapat berjalan secara utuh, berkelindan, dan simultan, sebagaimana terlihat dalam urutan institusi negara dan garis hubungan antara institusi tersebut dari Pemimpin Spiritual (wilâyah al-faqîh), wilayah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Secara lebih terperinci, institusi atau lembaga negara Republik Islam Iran (RII) yang meliputi eksekutif, legislatif yudikatif, seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar RII adalah sebagai berikut: Pertama, Majelis-e-Syura-e Islami (Majelis Konsultasi Islam, selanjutnya disebut Majelis). Majelis ini berfungsi sebagai parlemen yang terdiri dari 270 anggota dengan dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun, sedangkan landasan falsafah mejelis adalah musyawarah untuk mencapai mufakat sesuai dengan Alqur’an dan sunnah. Golongan-golongan minoritas seperti Zoroaster, Yahudi, Kristen dan Armenia masing-masing diwakili oleh satu anggota Majelis. Di samping itu, sidang-sidang Majelis harus berjalan secara terbuka dan harus dilaporkan secara lengkap oleh media massa, kecuali dalam keadaan darurat, seperti dalam pasal 69 UUD. Sidang tertutup yang terjadi pada masa darurat harus dilaporkan secara lengkap setelah usainya masa darurat tersebut. Sejak dibentuknya Republik Islam Iran, Pemerintah Iran telah menyelenggarakan tujuh kali Pemilu untuk memilih anggota Majelis, yaitu pada tahun 1980, 1984, 1988, 1992, 1996, 2000, dan 2004.[40]
Kedua, Shuraye-Nigahban, atau The Council of Guardian of The Constitution (Dewan Perwalian Undang-Undang Dasar). Dewan Perwalian ini memiliki fungsi legislatif yang terbatas, tetapi pada hakekatnya sangat menentukan. Dewan Perwalian terdiri dari 12 orang; yang enam orang fuqaha langsung diangkat oleh Dewan Pimpinan, dan yang 6 orang ahli hukum diangkat oleh Mejelis setelah direkomendasikan oleh Dewan Kehakiman Tertinggi (Shuraye A’li-ye Qazaii).[41] Ketiga, Majelis-e Khubreqan (Majelis Ahli). Majelis ini berfungsi untuk memilih dan atau memberhentikan seorang pemimpin (imâm), sesuai dengan konstitusi Iran. Majelis Ahli beranggotakan 73 ulama senior yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilu pertama untuk memilih anggota Majelis Ahli yang diadakan bulan Agustus 1979 telah memilih Ayatullah Husein ‘Ali Muntazeri sebagai ketuanya.[42]
Keempat, presiden, pemegang otoritas tertinggi di bidang eksekutif yang masih berada di bawah garis kekuasaan Imam atau wilâyah al-faqîh, yang menurut pasal 113 Konstitusi Iran disebutkan: “Presiden bertanggungjawab dalam penerapan Undang-Undang Dasar, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang menjadi tanggung jawab Imam atau pemimpin Spiritual”. Kemudian dalam pasal 114 disebutkan masa jabatan presiden dipilih langsung melalui pemilihan umum selama empat tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan secara berurutan. Presiden harus dipilih di antar tokoh-tokoh agama yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut: orang Iran asli secara alami, berkebangsaan Iran, berinisiatif, organisator yang ulung, jujur, takwa dan percaya pada pendirian Republik Islam Iran. [43] Kendatipun memegang otoritas tinggi di bidang eksekutif, tindakan dan kebijaksanaan presiden dapat diveto oleh pemimpin spiritual tertinggi. Kelima, Perdana Menteri sebagai pemegang eksekutif lain di bawah presiden. Menurut pasal 124, perdana menteri diusulkan oleh presiden dan setelah disetujui oleh parlemen atau majelis, maka presiden baru secara resmi mengesahkan perdana menteri yang bersangkutan. Namun, setelah referendum amandemen konstitusi yang diadakan secara bersamaan dengan pemilihan presiden pada bulan Juli 1989, jabatan perdana menteri dihapus, dan diganti dengan jabatan Wakil Presiden.[44]
Keenam, Lembaga Peradilan yang terdiri dari Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Rendah. Menteri Kehakiman ditunjuk oleh presiden dari calon-calon yang diajukan oleh kepala peradilan untuk menduduki anggota di posisi lembaga peradilan tersebut. Tugas Menteri Kehakiman adalah menjaga hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam masalah-masalah hukum. Menurut pasal 156, lembaga peradilan harus merupakan kekuasaan yang independen, membela dan melindungi hak-hak individu dan sosial rakyat, juga bertanggungjawab terhadap implementasi keadilan dan harus melaksanakan fungsi-fungsi proses penyelenggaran peradilan.[45]
Di samping itu, terdapat berbagai macam instrumen pemerintahan yang biasa dikenal dalam sistem pemerintahan suatu negara yang menjadi pendukung lembaga-lembaga yang sudah terbentuk. Di Republik Islam Iran (RII), terdapat beberapa lembaga yang menjadi ciri pemerintahan revolusioner yang sangat berperan dan berpengaruh dalam proses kenegaraan, yaitu:
1. Dewan Ahli (The Council of Experts) yang terdiri 80 ulama pilihan yang bertanggungjawab dalam hal-hal utama, seperti melaksanakan revisi terhadap Undang-Undang Dasar tahun 1979 dan memilih pengganti atau penerus Imam Khomeini;
2. Dewan Penjaga Konstitusi (The Council of Constitutional Guardians), yang terdiri dari 12 anggota, dengan tugas melakukan screening dan memodifikasi semua undang-undang dari majelis, sebelum diteruskan kepada pemimpin Besar untuk disetujui. Mereka berhak mendukung atau menentang keputusan Majelis dan berhak untuk mendiskualifikasi calon-calon anggota Majelis;
3. Dewan Revolusi, yang bertugas mengatur Pasukan Pengawal Revolusi ;
4. Lermbaga-lembaga politik dan ekonomi yang dihubungkan dengan masjid-masjid yang tersebar di seluruh negara Iran sebagai tambahan dari lembaga Dewan Militer;
5. Lembaga Pimpinan Agama yang ditempatkan di masjid-masjid, berfungsi sebagai administrator lokal. Mereka semua bertugas menyediakan makanan, pakaian dan kupon jatah makanan dan lainnya, mengumpulkan pajak serta menampung sukarelawan untuk maju ke medan pertempuran.[46]
Kemudian dalam kegiatan politik praktis di Iran cukup dinamis, hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa partai politik pasca revolusi atau setelah terbentuknya Republik Islam Iran. Aliran politik Organisasi Partai politik (Orsospol) di Iran dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu: kelompok Islam, nasionalis, kiri atau Marxis, dan Royalis. Lebih detail mengenai partai politik ini, akan diuraikan berikut ini. Pertama kelompok Islam. Dalam kelompok ini terdapat dua partai besar, yaitu Partai Republik Islam (Hezbe Jomhori-e Islami atau disingkat HJI), dan Partai Republik Rakyat Muslim (Hezb-e Jomhori-e Khaiq-e Mosalman atau disingkat HJKM). HJI didirikan pada tahun 1979 oleh sekelompok ulama yang digambarkan sebagai ‘financially loyal to the Ayatullah Khomeini’, yang dipimpin oleh Ayatullah Sayyed Muhammad Husein Behesyti. Tokoh yang dikenal sebagai orang terkuat sesudah Imam Khomeini ini meninggal dunia akibat ledakan bom pada tahun 1981 M. Partai lainnya adalah HJKM yang didirikan oleh para pengikut Ayatullâh Kazhim Syari’atmadari pada tahun 1979 yang dikenal sebagai partai Islam liberal.
Sejak sebelum revolusi pecah, perbedaan dasar yang membelah pandangan Syari’atmadari dan Khomeini adalah isu penerapan hukum-hukum Islam ke dalam realitas kehidupan. Syari’atmadari berangkat dari asumsi bahwa revolusi adalah sekedar alat untuk menghancurkan rezim diktator dan menggantinya dengan pemerintahan demokrasi yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Ia menekankan pentingnya peran rakyat dalam demokrasi Islam tersebut dan oleh karenanya menentang kekuasaan berlebihan dan hampir tanpa batas yang sekarang dimiliki para mullah. Dalam pandangannya, pemerintahan demokrasi ini memberi kesempatan rakyat untuk berpartisipasi dalam politik, sedang posisi ulama sebatas pada pemberian nasehat, arahan, dan petunjuk. Oleh karena itu, ia tidak dapat mengerti mengapa Khomeini ikut campur secara langsung dalam urusan politik sehari-hari dengan dampak yang demikian luar biasa gawat bagi kemerdekaan pribadi. Perbedaan pandangan antara dua Ayatullah sepuh ini semakin meruncing dalam tahun-tahun pertama revolusi dan mendorong munculnya tuduhan keterlibatan Shariatmadari dalam sebuh konspirasi untuk menggulingkan pemerintah.[47] Dalam bahasa politik para pendukung Khomeini, orang ini bahkan sudah pantas untuk dihukum mati, karena berani berbeda pendapat dengan sang pemimpin yang dikaguminya, Imam Khomeini..
Kedua, kelompok nasionalis. Dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada empat organisasi politik, yaitu: Front Nasional (Jebhe-e Melli, disingkat JM)), Gerakan Pembebasan Iran (Nehzat-e Azadi-e Iran, disingkat NAI), Front Demokrasi Nasional (Jebhe-e Demokratic-e-Melli, dsingkat JDM), dan Kelompok Bani Shadr. Di antara keempat kelompok kekuatan politik ini, JM merupakan yang tertua dan menjadi induk dari ketiga organisai politik lainnya. Secara ideologis, JM an NAI cenderung bersikap ‘moderat’ dan JDM justru bersikap radikal, sedangkan kelompok Bani Shadr menjadi satu-satunya tokoh nasionalis yang tidak beafiliasi dengan organisasi maupun partai politik manapun, tetapi ia lebh memilih jalan sebagai seorang ‘single fighter’.
Ketiga, kelompok kiri atau Marxis. Dalam kelompok ini sekurang-kurangnya terdapat tiga organisasi yang cukup dikenal, yakni: Partai Massa (Hezb-e-Tudeh atau Partai Tudeh), Organisasi Pejuang Rakyat Iran (Sazeman-e Mojahedin-e Khalq-e atau Mujahidin Khalq), dan Organisasi Gerilya Pejuang Rakyat Iran (Sazeman-e Cherkiha-ye Fedayen-e Khalq-e Iran atau Fedayen Khalq). Partai Tudeh yang didirikan tahun 1941 M, karena tindakannya yang tidak sejalan dan cenderung berseberangan dengan pemerintah, maka partai ini dilarang untuk melakukan kegiatan politik di Iran. Partai Fedayen Khalq yang didirikan tahun 1971 M lebih menampilkan diri sebagai partai atau kelompok gerilya.; dan sesudah tahun 1979 M, partai ini bergabung dengan Partai Tudeh. Kemudian Partai Mujahidin Khalq yang didirikan tahun 1965 M merupakan penganut ideologi ‘Marxis Islam’ dan menganggap ‘Ali Syari’ati itu sebagai Bapak Spiritual mereka. Ketiga kelompok kiri ini tidak mendapatkan satu kursi pun di parlemen pada tahun 1980. Sesudah dilakukan pembersihan besar-besaran oleh pemerintah Iran pada tahun 1981-1983 M, ketiga kelompok politik yang beraliran marxis tersebut bersama organisasi kecilnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang.[48]
Keempat, kelompok Royalis. Dalam kelompok royalis (monarkis) terdapat nama-nama keluarga mendiang Syah Reza Pahlevi, seperti Farah Pahlevi, Putri Azdeh, Putri Ashraf dan Reza Qotbi. Kemudian ditambah dengan para pendukung setianya seperti Darius Hamayan (mantan Menteri Penerangan), Jenderal Oveissi (mantan Pangab), dan ‘Ali Amini (mantan Perdana Menteri). Pada tahun 1980, mereka membentuk organisasi yang diberi nama Rakyat Bebas (Azadegan) yang dipimpin Putri Azedah, dan Dewan Konstitusional (Shura-ye Mashrutiat) yang dipimpin oleh Reza Syah. Kelompok ini mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat dan Irak, namun di dalam negerinya sendiri, kelompok ini dapat dikatakan paling sedikit pendukungnya dibandingkan kelompok oposisi lainnya, karena masih memiliki beban politik ketika berkuasa.[49]
Dinamika sistem politik Republik Islam Iran tersebut di atas, telah menciptakan suasana politik domestik yang demokratis dimana kekuatan-kekuatan oposisi yang saling bersaing melalui koridor aturan main yang ditetapkan, sedangkan kekuasaan yang dijalankan pemerintahan dijunjung tinggi dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Kendatipun munculnya beberapa partai politik, tetapi pemerintahan Iran tetap mengawasi setiap partai yang muncul dan diselidiki latar belakang kemunculannya, karena dikhawatirkan akan mengganggu dan merusak nilai-nilai revolusi Islam.
E. Model Demokrasi Islam Iran
Dalam ilmu dan terminologi politik, term ‘demokrasi’ memiliki varian makna yang cukup beragam. Mayoritas definisi tentang demokrasi dibuat dan ditulis oleh para pendukung demokrasi, sehingga tidak ada definisi yang netral.[50] Dalam kajian-kajian politik, term ‘demokrasi’ yang muncul pada masa Yunani Kuno, khususnya negara-kota Athena ini, berasal dari dua kata. “demos” yang berarti rakyat, dan “kratia” yang artinya pemerintahan. Dengan pendekatan normatif, term ‘demokrasi’ berarti ‘pemerintahan oleh rakyat’; atau dalam rumusan negarawan Amerika, Abraham Lincoln pada tahun 1863 M, ‘demokrasi’ adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people). [51] Namun pengertian normatif tentang demokrasi ini menimbulkan pertanyaan, ketika diterapkan kepada pengertian empirik, seperti siapa yang dinamakan “rakyat” ? apakah artinya rakyat itu “memerintah” ?. Pengertian ini seringkali menjadi sumber perbedaan pendapat di kalangan para akedemisi yang berkaitan dengan realitas politik. Selain itu, masih banyak definisi demokrasi yang berbeda-beda maknanya. Dahl, misalnya mengajukan pendefinisian demokrasi sebagai sebuah ideal politik modern, yang mencakup lima kriteria Pertama persamaan hak pilih. Setiap warga negara memiliki hak istimewa dalam proses membuat keputusan kolektif, dan hak ini harus diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terkhir. Kedua partisifasi efektif , yaitu bahwa setiap warga negara harus memiliki kesempatan yang sama dan memadai untuk mengemukakan hak-hak istimewanya dalam proses membuat keputusan. Ketiga pembeberan kebenaran. Setiap warga negara harus memiliki peluang yang sama dan memadai untuk menilai secara logis demi mencapai hasil yang terbaik. Keempat kontrol terakhir terhadap agenda. Masyarakat harus memiliki kekuasaan eksklusif untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses kekuasaan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu kepada orang lain atau lembaga yang mewakilinya. Dan kelima, pencakupan, yaitu bahwa masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. [52]
Sementara itu Joseph Schumpeter mengemukakan, metode demokratis adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetisi dalam rangka untuk memperoleh suara rakyat. Adapun Arend Lijphart mengemukakan, definisi yang lebih bersifat komparatif. Ia membandingkan praktik demokrasi di dunia pertama dan dunia ketiga. Ia mengkonseptualisasikan demokrasi sebagai perpaduan antara pengakuan dan penghargaan terhadap pluralitas dengan terpeliharanya stabilitas politik dan pemerintahan. Beethan dan Boy juga mengemukakan bahwa demokrasi adalah bagian dari khazanah pembuatan keputusan kolektif. Demokrasi mencakup prinsip kembar: kontrol rakyat atas proses pembuatan keputusan kolektif dan kesamaan hak-hak dalam menjalankan kendali itu. Demokrasi memungkinkan adanya silang pendapat, persaingan, pertentangan di antara individu, antara berbagai kelompok, antara individu dan kelompok, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Demokrasi hanya akan mentolelir konflik yang tidak menghancurkan sistem. [53]
Rumusan-rumusan batasan definisi demokrasi tersebut dapat disimpulkan secara simplistik, yang kemudian dijadikan sebagai indikator bagi demokrasi secara empirik. Berikut ini, disajikan sejumlah prasyarat yang disimpulkan dari rumusan definisi di atas, untuk mengamati apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratik atau tidak. Pertama akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap penguasa yang dipilih oleh rakyat harus dapat mengemukakan pertanggungjawaban kebijaksanaan yang akan dan telah diputuskan, bahkan sang pemimpin juga harus mempertanggungjawabkan ucapan atau kata-kata dan perilakunya. Kedua rotasi kekuasaan. Rotasi atau pergantian kekuasaan merupakan suatu hal niscaya dan memang harus ada, yang dilakukan secara teratur dan damai. Ketiga rekrutmen politik terbuka. Setiap warga negara yang memenuhi syarat mengisi suatu jabatan politik diberi kesempatan secara terbuka untuk ikut serta dalam kompetisi untuk mengisi jabatan politik tersebut. Keempat pemilihan umum. Setiap warga negara dewasa memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Mereka bebas mengemukakan haknya sesuai dengan pilihannya sendiri, tanpa paksaan orang lain dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara teratur. Dan kelima menikmati hak-hak dasar. Setiap warga negara dapat menikmati hak-hak dasarnya secara bebas, seperti bebas berpendapat, berkumpul, berserikat dan menikmati pers yang bebas. Hak untuk berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dengan memasuki berbagai organisasi baik politik maupun non-politik, tanpa dihalang-halangi oleh siapa pun dan institusi apa pun. Kebebasan pers dapat menyampaikan informasi apa pun yang dipandang perlu, sepanjang tidak memiliki elemen menghina, menghasut ataupun mengadu domba sesama warga masyarakat. [54]
Indikator atau elemen-elemen dasar dari demokrasi ini merupakan elemen yang umum dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu politik. Dengan elemen ini, maka dapat terhindar dari kecenderungan etnosentrisme. Pemahaman demokrasi merupakan pemahaman yang bersifat universal, namun dalam mengimplementasikannya, tidak tertutup kemungkinan beradaptasi dengan elemen-elemen lokal dan nilai-nilai keagamaan dalam suatu lingkungan politik tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. Dari sini dapat diamati seberapa jauh interaksi antara nilai universal demokrasi dengan nilai-nilai lokal dan keagamaan saling menopang satu sama lain.[55] Karena itu, tidak mengherankan, apabila dalam implementasi demokrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia pada zaman Orde Baru, dan juga di Republik Islam Iran, memiliki karakteristik masing-masing selaras dengan lingkungan dan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Pengimplementasian demokrasi di suatu negara yang baru berubah dari sistem monarki ke sistem republik, tidak terlepas dari konsep pemikiran tokoh yang berperan besar dalam melakukan perubahan tersebut, seperti halnya Imam Khomeini yang menjadi tokoh sentral dalam menggulingkan pemerintahan monarki absolut Syah Pahlevi melalui revolusi di Iran, sehingga berubah sistem pemerintahannya menjadi sistem republik konstitusional.
Dengan latar belakang filosofis keagamaan dan nilai-nilai lokal yang berkembang dalam suatu masyarakat, maka sistem demokrasi yang dipaparkan di atas mendapatkan respon yang beragam di kalangan pemimpin dan intelektual Islam, yaitu antara lain oleh Imam Khomeini dan Abdul Karim Soroush. Menurut Khomeini, elemen-elemen demokrasi yang diterapkan dunia Barat cenderung liberal, dan hanya mengejar kebahagiaan rakyat dengan mengabaikan restu Tuhan. Tujuan demokrasi Barat bersifat duniawi dan material, yaitu hanya merealisasikan kesejahteraan rakyat dalam kehidupan dunia, sedangkan tujuan domkrasi Islam tidak hanya mencakup masalah duniawi saja, tapi juga untuk mencapai kebutuhan spiritual, bahkan tujuan spiritual ini lebih utama dan sangat fundamental. Imam Khomeini sendiri mengakui otoritas rakyat dan menganggap pemerintahan sebagai perwujudan kehendak rakyat, namun rakyat harus memutuskan wewenang mereka dengan suatu cara tertentu yang diatur oleh ajaran Islam. Kehendak rakyat harus diikat dengan kehendak ilahiah dan ikatan ini dimanifestasikan dengan pengendalian wilâyah al-faqîh. Dia meyakini bahwa kebebasan demokrasi bergantung pada prinsip-prinsip agama Islam. Kebebasan mesti harus dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi dengan cara sebaik-baiknya. Khomeini menyebutnya dengan model “demokrasi Islam atau demokrasi sejati”, sedangkan Soroush menamakannya dengan “demokrasi agama”.[56] Dengan dasar pemikiran ini, Khomeini berpendirian bahwa pemegang otoritas tertinggi negara atau pemerintahan Islam adalah seorang ahli hukum Islam (faqîh). Dia secara hierarkis harus berada di atas presiden atau kepala negara, sehingga kepala negara harus tunduk kepada faqîh tersebut, dan harus meminta penjelasan hukum Islam kepada faqîh itu. Kehendak rakyat yang ditampilkan melalui pemilihan presiden dan anggota parlemen harus paralel dengan kehendak Tuhan, dan kepararelann ini akan dijaga melalui mekanisme pengawasan wilâyah al-faqîh atas pemerintahan. Menurut Khomeini, pemerintahan tanpa pengawasan ‘wilayah al-faqîh’ akan menjadi despotik. Jika pemerintahan tidak dijalankan sesuai dengan kehendak Tuhan dan jika presiden tanpa arahan ‘wilâyah al-faqîh’, pemerintahan itu harus dinyatakan tidak sah. Tunduk kepada pemeintahan semacam ini, berarti sama dengan tunduk kepada despotisme.[57]
Pemerintahan Islam disebut Republik Islam, karena dalam Alqur’an ditegaskan agar umat Islam harus mengadakan musyawarah, yang menunjukkan bahwa dalam pemerintahan Islam diperlukan lembaga atau majelis permusyawaratan. Dalam negara republik ini, rakyat memiliki hak bersuara dan bebas berpendapat, sedangkan faqîh, walaupun berkedudukan tinggi, tidak dapat ikut campur dalam urusan kegiatan pemerintahan. Bebagai lembaga pemerintahan memberikan pertanggungjawaban kepada faqîh, yang bertindak sebagai pelindung utama konstitusi, karena itu bilamana terjadi penyelewengan, ia memiliki hak untuk menghentikannya.[58] Hal ini dipandang perlu, mengingat pada sistem ini, konsep kepemimpinan Islam tidak cukup terwakili di dalamnya. Ada batas-batas, sebagaimana diatur menurut konsep trias politika yang di dalamnya kekuasaan eksekutif sepnuhnya ditundukkan terhadap kekuasaan legislatif; demikian pula, kekuasaan yudikatif memiliki batas-batasnya sendiri yang membuat mereka tidak leluasa untuk menetapkan hukum Islam. [59]
Berdasarkan kupasan demokrasi di atas, tampak sekali bahwa Iran merepresentasikan bentuk pemikiran tertentu dalam Islam dan memandang negara Islam tidak hanya semata-mata mengejar sesuatu yang bersifat duniawi saja, tetapi juga harus dipadukan dengan kepentingan ukhrawi. Karena itu, untuk mencapai dua dimensi itu harus dilakukan mekanisme penggabungan dua sistem politik (nomo-demokrasi), yaitu teokrasi dan demokrasi, sehingga menghasilkan teo-demokrasi. Ini merupakan sistem politik yang menggabungkan pemerintahan oleh hukum Tuhan atau syari’ah dengan demokrasi yang mengandalkan partisipasi rakyat. Secara teoritis, dua konsep yang berlawanan akan sulit dipertemukan, tetapi para pemimpin Islam berupaya untuk menggabungkannya dengan menyatakan: pertama Islam menolak teokrasi, jika sistem ini dipahami sebagai kekuasaan oleh sekelompok orang yang mengklaim sebagai wakil atau suara Tuhan yang mutlak, yang bebas dari segala kesalahan dan sabdanya berarti hukum sudah final dan tidak bisa ditawar lagi dengan acara apa pun. Penguasa, walaupun ia seorang ahli hukum (faqîh) tertinggi, bukanlah wakil atau suara Tuhan. Ia dipilih berdasarkan kualifikasi-kualifikasi tertentu yang sedikit banyak bersifat relatif, dan dia tidak ma’shûm (infallibale). Dalam Konstitusi Iran, secara eksplisit dinyatakan bahwa ‘wali faqîh’ setara dengan seluruh warga negera di mata hukum, dan wali faqîh atau Dewan Faqîh diangkat dan bisa diberhentikan oleh Dewan Ahli yang note bene dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum.[60]
Kemudian yang kedua bagi orang beriman, pandangan dikotomis semacam itu sulit diterima. Bagi mereka, segala sesuatu yang diwahyukan Tuhan sesuai dengan fitrah atau kecenderungan asasi manusia, sehingga apa yang termaktub dalam wahyu jelas tidak akan berbenturan dengan pemikiran manusia; apa yang dikatakan sebagai sesuatu yang baik dan maslahat oleh Tuhan, pasti akan baik dan maslahat juga menurut akal pikiran yang jernih, sedangkan yang dikatakan buruk menurut wahyu Tuhan, pasti akan buruk juga menurut akal pikiran. Keberadaan syari’ah yang bersifat ilahiyah dan pengakuan atas wewenang para faqîh untuk menerapkan hukum itu diperlukan, karena pada kenyataannya, kehendak rakyat meskipun kesepakatan orang banyak yang sering dipuji-puji, tidak bisa dijamin bebas dari kesalahan. Di samping itu, Alqur’an sendiri memberikan penekanan yang seimbang kepada musyawarah (syûra) maupun kepada otoritas individu atau kelompok yang benar-benar memiliki kualifikasi menjadi pimpinan (ulu al-amr, ulu al-al-bâb, ulamâ). Meskipun kebenaran syari’ah bersifat mutlak, pada hakekatnya, Islam tidak memiliki institusi semacam kepausan yang memiliki wewenang untuk mengklaim kebenaran tunggal dan statis dalam penafsiran dan penerapan syari’ah. Produk syari’ah yang terkodifikasi dari teks-teks Alqur’an dan sunnah pada kenyataannya terbuka untuk interpretasi. Kegamangan untuk menerima sistem teo-demokrasi tampaknya terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa selama ini banyak orang sudah memiliki persepsi bahwa dalam sistem politik tidak ada pilihan lain selain otoriatarianisme absolut atau demokrasi.[61]
Pengalaman Iran sebagai respon terhadap persoalan hubungan antara Islam dan demokrasi. Iran telah menunjukkan sejauh mana isu-isu seputar partisipasi politik rakyat dan konsensus telah menjadi bagian dari cakrawala politik di Republik Islam Iran, dan dimanfaatkan baik oleh pemerintah maupun pihak oposisi, dan dengan demikian membuka jalan untuk mendifinisikan demokrasi. Bagi sebagian pengamat politik, pengalaman Iran menegaskan untuk memberi kemungkinan penciptaan demokrasi model Islam yang memberi partisipasi rakyat, tetapi tidak lepas dari nilai-nilai ilahiyah, atau dengan kata lain merupakan sintesis antara unsur-unsur demokrasi dengan nilai-nilai keagamaan yang menjadi basis kehidupan masyarakat, sehingga diberi predikat ‘nomo demokrasi’ atau ‘semi demokrasi’.
F. Kesimpulan
Dari kupasan di atas, maka pada akhir tulisan ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Hubungan antara negara dan Islam dalam bentuk negara Islam belum ada konsensus di kalangan ulama sunni, tetapi di kalangan madzhab syi’ah sudah ittifaq, bahwa antara negara dan Islam tidak dapat dipisahkan;
2. Tokoh dominan yang menggerakan revolusi Islam di Iran dalam rangka untuk menegakkan konsep negara Islam adalah Âyatullâh Khomeini, dengan prinsipnya yang menyatakan, dalam pemerintahan Islam, semua komponen masyarakat harus tunduk dan berserah diri kepada hukum-hukum Islam;
3. Pemerintahan Islam dibentuk melalui konsep ‘wilayah al-faqîh’, inovasi Imam Khomeini yang ditegakkan di atas empat prinsip dasar: Pertama Allah sebagai hakim mutlak untuk seluruh alam semesta dan segala isinya; kedua kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah di bumi adalah nubuwwah; ketiga imamah melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat; dan keempat kepemimpinan para faqîh setelah para Imam tidak ada, dengan persyaratan ketat, antara lain harus ‘adalah, faqahah, dan kafâ’ah;
4. Konsep wilâyah al-faqîh memberi jalan terbentuknya lembaga-lembaga politik, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang semuanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara langsung;
5. Model demokrasi yang dikembangkan Imam Khomeini adalah merupakan sintesis antara nilai-nilai demokrasi dengan ajaran-ajaran keagamaan, sehingga disebut ‘teo-demokrasi’, nomo-demokrasi, atau demokrasi agama;
6. Demokrasi yang dijalankan di Iran, walaupun belum sepenuhnya, tetapi menakjubkan para pengamat politik, karena baru kali ini proses demokrasi dijalankan, di tengah-tengah kawasan negara teluk Persia yang masih menggunakan sistem monarki absolut.
[1] Leonard Binder, Religion And Politics in Pakistan, (Barkely and Los Angeles, University of California Press, 1963 M), h. 30, dan Mohammad Ayoob (ed.), The Politics of Islamic Reassertion, (London: Croom Helm, 1981 M), h. 10-30, dan telaah juga, Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, (London and New York: Routledge, 1991 M).
[2] Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan” dalam buku Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1990 M), h. vi-vii.
[3] John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990 M), h. 307; dan Naning Tahqiq (ed.), Politik Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004 M), h. xi-xiii
[4] John L. Esposito, Islam dan Politik, h. 308, dan lihat juga pemaparan, Afan Gaffar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik Yang Terbatas”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: Paramadina, dan IPHI, 1995 M), h. 346-359
[5] H. Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara : Ajaran, Sejaran dan Pemikiran, h.1-3
[6] Lihat lebih lanjut, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam : dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996 M), h. 1-2
[7] Namun demikian, banyak pengamat baik di dalam maupun luar negeri yang terkesima melihat Pemilu di Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim telah berhasil melangsungkan Pemilu dengan aman, damai, jujur, bebas dan lancar, tanpa setetes darah pun., sehingga menjadi bukti bahwa tidak ada masalah antara Islam dan demokrasi Indonesia, khususnya. Menurut prof. Dr. Vali Nasr, Guru Besar Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat menyatakan, Indonesia semakin menjadi model yang sangat baik dalam hal hubungan antara Islam dan demokrasi. Model Demokrasi Indonesia ini dapat menjadi alternatif dan contoh kepada dunia Muslim lainnya bagaimana demokrasi relevan bagi Islam. Lihat, Kata pengantar Azyumardi Azra, “Muslim Indonesia Menuju Konsolidasi Demokrasi”, dalam buku, Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rasis, (Jakarta: Teraju, 2005 M), h. xi-xii.
[8] Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran: Puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi Dan Fenomena Khatami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 M), h. viii-ix
[9] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utma, 2006 M), h. 8-10, dan lihat yang aslinya, Hugh A. Bone, American Politic and Party System, (New York: MacCraw-Hill Book Company, 1985 M), h. 11.
[10] Imam Khomeini, al-Hukûmah al-Islâmiyyah, h. 25, dan 41
[11] Zubaidi Mastal, Imam Khomeini dan Jalan Menuju Integrasi dan Solidaritas, (Jakarta: YAPI, 1990 M), h. 25-26, dan A. Rahman Zainuddin dan Hamdan M. Bast\yar (ed.), Syi’ah dan Politik Indonesia: Sebuah Penelitian, (Jakarta: PPW-LIPI, 2000 M0, h. 56-57
[12] Padma Waluya, Konsep Imamah, (Jakarta: Fatimah Islamic Organization, 2002 M), h. 18-19, dan amati, Imam Khomeini “Sebuah Pandangan Tentang Pemerintahan Islam”, dalam Saleem Azzam (ed.), Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, h. 120-121
[13] Nurul Fajri MR, “Konsep Mahdi Dalam Teologi Syi’ah”, dalam buku Naning Tahqiq (ed. ), Politik Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004 M), h. 39-40, dan Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abd ke-20, (Bandung: Pustaka, 2001 M), h. 44-45
[14] Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini, h. 114, dan Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, h. 24-25
[15] Muhammad Rizha al-Muzhaffar, The Faith of Shi’e Islam, (Teheran: Ministry of Islamic Guidance 1982 M), Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam, Perspektif Syi’ah, h. 154, dan Yamani, Filsafat Politik Islam, h. 115-116
[16] Imam Khomeini, al-Hukûmah al-Islâmiyah, h. 26-32
[17] Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986 M), h. 245-246. Husein, Karbala dan ‘Asyura telah menjadi kata-kata yang bukan saja mengandung muatan emosional, melainkan juga mengandung spiritual yang tinggi. Bila seorang Syi’ah mendengar kata-kata itu, akan terbayang dalam benaknya peristiwa yang terjadi di padang pasir Karbala. Dari peristiwa inilah, kaum syi’ah mengembangkan ideologi kesyahidan untuk mencapai kesuksesan, walaupun banyak menumpahkan darah dalam melawan pemerintah tiranik.
[18] Noer Arif Maulana, Revolusi Islam Iran Dan Realisasi Vilayatul Faqih, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003 M), h. 125
[19] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Islam Modern Menghadapi Abad ke-20, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001 M), h. 246-248
[20] Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan ISMES, 1996 M), h. 116. Nasihat atau tawsiyah Imam Khomeini di atas dikutip dari pesan ‘Ali ibn Abî Thâlib kepada dua putranya, Hasan Huisein.
[21] Ibid, h. 113. Dalam buku teks Syi’ah, al-Hayât, menyebutkan bahwa salah satu ciri ulama yang saleh adalah mencintai orang-orang fakir, dan miskin serta selalu berpihak kepada kelompok mustadh’afîn (hubb al-fuqarâ wa masâkin wa al-wuqûf bijjani bi al-mustadh’afîn). Menurut ‘Ali Syari’ati, yang membedakan nabi-nabi Islam dengan non-Islam adalah populisme, memihak rakyat kecil, seperti Ibrahim AS melawan Namrud, Musa AS melawan Fir’aun, dan Muhammad SAW melawan Abu Jahal. Hal ini berbeda dengan Sidharta, Zoroaster dan Kongfucu, yang semuanya berasal dari komunitas kaya dan bangsawan. Nabi-Nabi non-Islam menurut pandangan mereka, tidak berjunag se-keras dalam melawan kebatilan, sebagaimana yang dilakuakn nabi-nabi Islam di atas.
[22] Ma’luf, al-Munjid fî Lughah wa al-‘Alâm, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1987 M), h. 919, pada urutan kata ‘wali’., lihat pula, Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor, Qamus Krapyak al-‘Ushri, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1987 M), h. 2038-2040; dan Mahmmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penterjemahan dan Penafsiran Alqur’an, t.th), h.507
[23] Haidar Ali Haydar, Wilâyah al-Faqîh: al-Syûrâ wa Wilâyah al-Faqîh, (.ttp: Majma’ al-Fikr al-Islâmi, 1409 H), h. 155-156, dan Atabik Ali, Kamus Krapyak al-‘Ushri, h. 2039-2040
[24] Mahdi Hadavi, Negara Ilahiah: Suara Tuhan, Suara Rakyat, trj. Rudy Mulyono, (Jakarta: Al-Huda, 2005 M), h. 38
[25] Sayyid Muhammad Husayn al-Hasani al-Thahrâni, Wlâyah al-Faqîh fî Hukûmah al-Islâm, (Teheran: Dâr al-Hujjah al-Baykhâ, t.th), h. 2-4
[26] Salim Azzam (ed.), Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, h.122, dan Ayatullâh ‘Ali Miskhini, Wali Faqih: Ulama Pewaris Kenabian, (Jakarta: Risalah Masa, 1991 M), h. 44.
[27] T.M. Aziz, “Ulama dan Rakyat: Konsepsi Kedaulatan Dalam Wacana Politik Syi’ah Kontemporer”, dalam jurnal Ilmu-Ilmu Islam, Al-Huda, Vol. 1, No.2, (Jakarta: 2000 M), h. 121, dan lihat juga, Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam : Perspektif Syi’ah, h. 105-110. Menurut al-Thûsi, selama masa kegaiban pendek (al-shughrâ), keberadaan Imam ke dua belas dapat diketahui, tetapi pada masa kegaiban panjang (kubrâ), hanya Tuhan yang mengetahui di mana imam ke dua belas itu berada. Atas dasar ini, sejumlah orang berspekulasi bahwa Imam kedua belas telah wafat,; di antara mereka ada yang menganggap bahwa dia terbunuh; dan sebagian lagi mengatakan, dia pergi jauh. Lihat pembahasannya lebih luas, al-Thûsi, Kitâb al-Ghaybah, (Tehran: Maktabah Tsanawi al-Hadits, 1966 M), h. 101-103
[28] Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan Khomeini, h. 124, Abdul Aziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam: Perspektif Syi’ah, h. 199-210; dan Ahmad Mousawi, “Teori Wilayatul Faqih: Asal Mula dan Penampilannya Dalam Literatur Hukum Syi’ah” , dalam buku Mumtaz Ahmad, (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, h. 143-147
[29] Lihat, Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran (UUD RII), (Jakarta: Kantor Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Jakarta. t.th), h. 25-26
[30] Haidar Âli Haydar, Wilâyah al-Faqîh : al-Syûra wa Wilâyah al-Faqîh, h. 95-96
[31] Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan Khomeini, h. 124-125, dan lihat Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, pasal 109
[32] Noor Arif Maulana, Revolusi Islam Iran Dan Realisasi Vilayat-I-Faqih, h. 91. Untuk dapat menjadi ulama yang duduk di ‘wilayah al-faqîh’ itu tidak mudah. Di samping telah menempuh tiga tingkatan di atas, juga harus studi lagi di lembaga khusus, Majma’ Ahl al-Bayt, untuk disyahkan seseorang sebagai wilayah al-faqîh. Untuk Gelar ‘Âyatullâh al-Uzhma’ hanya diberikan kepada marja’ taqlîd khusus yang menjadi pemimpin tertinggi. al-Uzhmâ sendiri hanya disandang oleh Khomeini. Dan nama ‘Ruhullâh’ sendiri adalah nama lengkap dari Ruhullâh al-Musâwi al-Khomeini, bukan nama tambahan suatu tingkatan tertentu, seperti yang selama ini dikenal oleh orang banyak.
[33] Lihat, A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed), Syi’ah dan Politik Di Indonesia, h. 53-59, dan Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, h. 40-45
[34] Jika ingin mengetahui secara luas tentang alasan historis, lihat Imam Khomeini, “Sebuah Pandangan Tentang Pemerintahan Islam”, dalam Salim Azzam, Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, h. 115-119.
[35] Lihat lebih lanjut, Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara, 1971 M), h. 66, dan 171
[36] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 45, dan bandingkan dengan Soehono, Ilmu Negara, h. 148
[37] Moh. Kusnandi S.H, dan Harmaily Ibrahim S.H, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983 M), cet. V, h. 24
[38] Imam Khomeini, al-hukûmah al-Islâmiyyah, h. 45-49
[39] Nasir Tamara, Revolusi Islam, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1980 M), h. 292, dan lihat juga Muhajeri, Islamic Revolution, h. 98
[40] Lihat Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran (RII), Penerbit Kedutaan Besar Islam Iran di Jakarta, h. 49-60, tentang Majelis Syura Islami serta kekuasaan dan wewenangnya.
[41] Undang-Undang Dasar RII, h. 61. Semua perundang-undangan yang disetujui Majelis harus disampaikan kepada Dewan Perwalian untuk diperiksa, apakah rancangan undang-undang itu berlawanan atau tidak dengan prinsip-prinsip Islam dan UUD. Apabila berlwanan, maka dikembalikan lagi, tetapi jika tidak berlawanan, maka langsung bisa diberlakukan.
[42] Undang-Undang Dasar RII, h. 67-68. Dewan Ahli ini begitu besar tanggung jawabnya, antara lain: mengangkat para fuqaha, megangkat pejabat kehakiman dan menandatangai surat-surat pengangkatan presiden setelah dipilih oleh rakyat.
[43] Undang-Undang Dasar RII, h. 71—78. Di samping itu, presiden wajib menandatangi undang-undang yang sudah disetujui majlelis. Dan presiden akan menyerahkan undang-undang yang disahkan tersebut kepada pejabat berwenang untuk dijalankan.
[44] Walaupun sudah diamandemen, tetapi dalam Undang-Undang Dasar RII masih tercantum jabatan Perdana Menteri pada pasal 133, h. 78-79. Namun untuk pemerintahan di bawah Presiden Ahamadi Nejad, jabatan Perdana Menteri sudah diganti menjadi Wakil Presiden.
[45] Undang-Undang Dasar RII, pasal 156-174, h. 86-92. Dewan Tinggi Kehakiman terdiri dari: Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Tiga Hakim yang ahli dalam agama dan faqih Islam yang dipilih oleh Mahkamah Negara. Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung dipilih di antara pejabat-pejabat yang takwa dalam Islam yang ahli dalam masalah-masalah hukum dan diangkat oleh Dewan Pimpinan untuk masa jabatan lima tahun.
[46] Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran, h. 10-17, dan lihat juga Noer Arif Maulana, Revolusi Islam Iran, h. 175-176
[47] David Menashri, Iran: A Decade of War and Revolution, (New York: Holmes & Meier, 1990 M), h. 82-90. Ayatullah Shari’atmadari adalah seorang tokoh yang mengawali jalannya demokrasi meninggal tahun 1986 M. Akibat bahasa politik yang diungkapkannya mengandung kritikan sehingga ia menderita tekanan fisik dan psikis; demikian pula para pengikutnya sebagai akibat tindakan represif yang dilancarkan para mullah konservatif.
[48] Noer Arif Maulana, Revolusi Islam Iran, h. 179
[49] Nasir Tamara, Revolusi Iran, h. 128-130, dan Noor Arif Maulana, Revolusi Islam Iran, h.180
[50] Paul Treanor, Kebohongan Demokrasi, trj. Imron Rosyadi dan Mohammad Nastain, (Yogyakarta: Istawa-Wacana, 2001 M), h. 42
[51] Lihat pengertian ini, Andrew Heywood, Political Theory an Introduction, (New York: Palgrave, 1999 M), h. 221-223, Dan Sulastomo, Demokrasi atau Democrazy, (Jakarta: Rajawali Press, 2001 M), h. vii; bandingkan dengan Willian Ebestein, “Democracy”, dalam Willian D. Halsey & Bernard Johnston (eds.), Collier’s Encycopedia, (New York: Macmillan Educational Company, 1988 M), Jilid VIII, h. 75
[52] Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, trj. Sahal Simamora, (Jakarta: Rajawali Press, 1985 M), h. 10-11
[53] Penjelasan rinci tentang unsur-unsur demokrasi ini dapat dibaca pada penjelasan, Lyman Tower Sargent, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer: Sebuah Analisis Komparatif, (Jakarta: Erlangga, 1987 M), h. 29-49; Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi di Dunia Ketiga, trj. Asril Marjohan, (Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1995 M), h. 5.; Kemudian lihat pula , Arend Lijphart dalam Democarcy in Plural Societies: A Comparative Exploration, (New Haven and London: Yale University Press, 1980 M), h, 3-24
[54] Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, h. 7-9
[55] Di Malaysia, misalnya, dalam konstitusi Malaysia dinyakan dengan tegas mengenai hak-hak yang dimiliki oleh para raja yang tidak dapat diganggu gugat dan hak-hak masyarakat Melayu. Sementara itu, di lain pihak, juga ada hak-hak yang dimiliki oleh keturunan Cina yang juga tidak dapat dipertanyakan oleh masyarakat Melayu, seperti mempersoalan kewarganegaraan Cina. Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, h. 46
[56] Hamid Hadji Haydar, “Filsafat Politik Imam Khomeini”, dalam jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Al-Huda, (Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, 2001 M), Vol. II, no. 4, h. 61-69, dan lihat juga dalam, tulisan dan kajian Idris Thaha, “Imam Khomeini: Filsafat Politik Islam, Vilayat-I Faqih, dan Demokrasi Sejati”, dalam jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Refleksi, (Jakarta: FUF UIN Jakarta, 2003 M), Vo. V, No. 1, h. 109-127. Bandingkan juga dengan pemikir sunni, M. Diyauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, t.th), h. 265-321
[57] Yamani, Filsafat Politik Islam, h. 141, dan lihat juga, Imam Khomeini, “Sebuah Pandangan Tentang Pemerinrtahan Islam”, dalam Salim Azzam (ed.), Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, h. 116-129. Perbedaan pokok antara pemerintahan Islam dan monarki konstitusional adalah bila wakil-wakil rakyat atau raja dalam pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan membuat hukum; sedangkan dalam pemerintahan Islam kekuasaan legislatif dan hak membuat hukum hanya kepunyaan Allah saja. Karena itu dalam Islam, majelis legislatif hanya menyusun undang-undang dan program kementrian berdasarkan ajaran Islam.
[58] Imam Khomeini, al-Hukûmah al-Islâmiyyah, h. 49-73
[59] Trias politika adalah suatu prnsip normatif bahwa kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Loocke (w. 1704 M) dan Monetsquieu (w. 1755 M). Lihat penjelasan lebih lanjut, Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 151-154
[60] Lihat, Yamani, Filsafat Politik Islam, h. 131, dan Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangitan Global Nasionalisme Religius, (Bandung: Mizan, 1990 M), h. 210. Menurutnya, Sekalipun banyak keterlibatan para ulama dalam pemerintahan, namun Iran buknlah negara teokrasi, karena konstitusi Iran walaupun telah menciptakan model-Islam-raja filosof Plato, ia menempatkan pemimpinnya (wali faqîh) dalam sistem parlementer modern.
[61] Pembahasan lebih luas tentang ‘negara teo-krasi dan demokrasi’ lihat Muhmmad Taqi Ja’fari, “Theocracy and democracy” dalam jurnal Al-Tawhid, No. 1, bulan Muharram 1404 H. Perhatikan juga, Murtadha Muthahari, dalam The Concept of Islamic Republic, Terbitan teheran 1982. Indikator proses demokrasi

No comments: